Kedua tangan aku lipat di dada sembari menyandarkan tubuhku pada dinding, menatap Abi yang aku kira sedang beristirahat karena capek. Tapi ternyata ia masih sempat-sempatnya bertegur sapa dengan laptop kesayangannya itu. Tiada hari tanpa laptop. Hidupnya selalu tentang laptop.
Cukup lama aku berada dalam posisi seperti ini, namun Abi tak kunjung menyadari kehadiran diriku. Kadangkala aku merasa kalau Abi menutup telinganya secara otomatis jikalau ia sedang berhadapan dengan laptop.
"Bi, kamu gak robot kan ya?" Bahkan robot pun memiliki masa rehat tersendiri. Tidak selamanya ia bisa bergerak membantu manusia.
Kepala Abi sedikit terangkat untuk menatapku, lalu ia terkekeh kecil. Memang pertanyaan yang aku ajukan terdengar sedikit aneh. Namun kalau melihat bagaimana sibuknya Abi melakukan ini dan itu, semua orang akan berpikiran sama denganku. Ia seakan tak memiliki rasa penat.
Akan seperti apa nantinya jika aku mulai mengerti aktivitas Abi yang sesungguhnya? Sekarang masih dalam masa cuti, tapi ia seakan tak butuh mengistirahatkan kepalanya. Bisa saja jadwalnya lebih padat kalau tidak sedang cuti kan?
Ingin rasanya aku cepat bertemu dengan kasur. Tapi Abi tidak begitu. Ia masih sempat-sempatnya mengecek hasil jepretan kameranya. Padahal bisa nanti atau besok.
Sesuai janjiku pada Abi dulu, hari ini aku kembali mengajak Abi berkeliling. Wisata sejarah dan wisata alam lagi untuk kedua kalinya. Aku bahkan masih ingat wajah berbinar Abi karena menyaksikan pemandangan yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Kekaguman itu tampak jelas dari ekspresinya.
Dugaanku awalnya adalah hari ini aku bisa mengalahkan Abi. Tapi untuk kedua kalinya ia tetap menang. Tenagaku tak sebanding dengannya dalam hal jalan-jalan. Tak ada istilah lelah, hanya ada wajah antusias dan bersemangat seakan-akan energinya selalu penuh.
Abi menggeser posisinya di sofa dan membiarkanku duduk di sampingnya. Setelah aku mendarat di sofa, ia sengaja mendekat tanpa membiarkan jarak diantara kami.
Banyak hal yang berubah semenjak kami menikah, salah satunya adalah kebiasaan Abi. Ia yang dulunya selalu berusaha mengatur posisinya agar tidak bersinggungan denganku, sekarang malah lebih sering duduk dekat denganku.
Tas milikku yang dahulu sering menjadi sasaran tarikan, sekarang tak ada gunanya lagi. Abi lebih sering menarik tanganku untuk mengikutinya kemanapun. Meskipun ujung-ujungnya tanganku akan dilepas ketika ia hendak mengambil gambar.
Akhirnya untuk pertama kalinya aku bisa naik motor dengan dibonceng oleh Abi. Ia yang bertugas mengendalikan laju motor, sementara aku menjadi penunjuk arah. Mengobrol di perjalanan terasa sangat menyenangkan, meskipun yang kami lakukan hanya mengomentari hal-hal yang kadang tidak penting.
Awalnya Abi menawarkan untuk naik mobil saja. Kebetulan mobil miliknya sengaja ia titipkan Abi di tempat sepupunya yang berlokasi tak jauh dari sini, karena saat acara pernikahan tempat parkir terbatas. Belum lagi ada tenda yang dipasang di halaman rumahku. Sudah pasti mobilnya akan kesusahan mencari tempat parkir.
Maka dari itu Abi hendak menjemput mobilnya. Tapi aku melarang, dengan alasan naik mobil itu kurang seru. Karena itu akhirnya kami naik motor saja. Lagipula lebih bebas cuci mata, lebih hemat, dan lebih mudah pula.
"Kameranya yang bagus kan ya? Bukan kamu yang pinter ngambil gambar." Hasil jepretan kamera Abi selalu tampak indah. Berbeda dengan hasil foto yang aku ambil menggunakan hpku, yang sering sekali miring tak beraturan. Aku memang tak berbakat seperti Abi.
"Pemandangannya yang bagus." Abi sadar kalau aku tak berniat memujinya. Aku kira ia akan menyanjung dirinya sendiri sebagai gantinya. Tapi ternyata ia malah memberikan pujian pada pemandangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Kacamata [END]
ChickLitHidup di perantauan, jauh dari keluarga, jauh dari rumah, selalu merasa sendiri meskipun ada banyak orang di kota metropolitan yang hampir sama padatnya dengan ibu kota. Perjalanan hidup yang tak mudah, apalagi bagi wanita yang sudah berusia lebih d...