19: Si Pemancing Emosi

2.7K 392 24
                                    

"Mau nambah lagi?" Aku menggeleng singkat sebagai respon karena mulutku sedang terisi penuh oleh suapan terakhir yang menjadi penutup makan hari ini.

Sudah cukup. Aku sudah tambah nasi satu kali. Jika menambah nasi sekali lagi, aku akan terlalu kenyang dan tak akan fokus bekerja karena mengantuk. Apalagi nanti ketika di kantor, aku ditemani angin sepoi-sepoi dari AC. Aku tak bisa menjamin kalau kesadaranku akan tetap terjaga selama jam kerja berlangsung. Jadi, daripada aku tidur nyenyak di atas meja, lebih baik aku mengantisipasi sejak awal agar tidak kekenyangan dengan membatasi perut.

Makan siang kali ini rasanya sangat nikmat. Sepertinya aku terlalu rindu masakan rumahan buatan ibu hingga makan lahap di warteg. Keberadaan warteg ini tak sengaja aku temukan di perjalananku mencari makanan karena letaknya bukan di tepi jalan besar. Malah untuk sampai ke sini, aku harus masuk ke gang kecil yang hanya bisa dilalui oleh satu mobil. Tak ku sangka rasanya sangat enak hingga membuatku kepikiran untuk datang ke sini lagi lain waktu. Apalagi harganya juga murah. Sesuai lah dengan kantongku.

Entah keberuntungan atau kesialan, aku kembali bertemu Abi di tempat makan. Lingkungan kantor yang itu-itu saja sudah barang tentu membuat kami sering tak sengaja bertemu, apalagi saat jam makan siang. Namun bertemu di tempat makan yang sama bisa dibilang sebuah keajaiban karena hal itu menunjukkan bahwa kami satu hati, kadang-kadang.

Warteg adalah tempat yang wajib dikunjungi ketika ingin menghemat budget makan. Dengan harga yang murah, kita dapat makan enak dengan cita rasa rumahan yang membuat kita rindu keluarga. Sama seperti diriku, Abi juga sangat lahap ketika makan. Ia bahkan dua kali nambah nasi karena saking semangatnya.

Aku yang lebih dulu usai dan melengkapi sesi makan siang ini dengan es teh yang menyegarkan. Percayalah, minuman yang sering aku pesan tak jauh-jauh dari es teh. Jikalau benar-benar ingin irit, aku memesan air es atau yang dikenal dengan istilah es kosong. Sebutan itu baru aku ketahui sejak aku tinggal di Pekanbaru. Saat mendengarnya pertama kali, tentu saja aku bingung. Tapi setelah tau, aku juga jadi sering menggunakan istilah itu.

Berbeda denganku yang sering memesan teh, Abi lebih menyukai kopi. Kecintaannya dengan kopi patut diacungi jempol, namun menurutku ia terlalu berlebihan. Biar ku tebak, pasti ia menghabiskan banyak gelas kopi dalam sehari.

Suasana warteg mulai sepi karena satu persatu mulai bangkit dan kembali ke kantor. Sementara aku dan Abi masih bertahan di sini untuk menenangkan lambung yang baru saja diisi. Tak baik jika langsung pergi karena proses mencerna makanan sedang berlangsung. Kita harus memberi jeda sejenak sebelum menggunakan anggota gerak.

Abi terbilang enak karena ia masuk jam dua. Sementara waktu istirahatku hanya tersisa sekitar dua puluh menit lagi. Apakah perlu aku usulkan agar jam istirahat diperpanjang? Cari mati itu namanya.

Sebenarnya tadi pagi aku hendak memasak untuk bekal makan siangku. Namun malang nasibku, jari yang merupakan aset berharga ini malah terluka akibat terkena pisau. Ku akui kalau diriku memang cukup handal dalam urusan masak, tapi aku lumayan ceroboh dalam menggunakan pisau. Terutama ketika memotong protein seperti ayam ataupun ikan. Bukannya memotong ayam dengan benar, aku malah mengiris jariku sendiri. Sungguh keterlaluan. Itulah akibat dari memasak dengan tergesa-gesa.

Makan di luar tak selalu boros juga. Malah bisa menghemat waktu dan tenaga. Lagipula aku selalu mengatur keuanganku dengan menyediakan jatah untuk makan di luar. Seperti sekarang contohnya.

Aku yang tadinya duduk membelakangi jalan seketika berbalik saat mendengar yel-yel sekelompok orang yang berlari beriringan. Melihat pakaian yang mereka kenakan, seketika mataku melebar dibuatnya. Siapa lagi kalau bukan para pria dengan seragam loreng?

"Nikmat Tuhan yang mana lagi yang kamu dustakan Kanaya?" tanyaku pada diriku sendiri. Baru kali ini aku melihat pada abdi negara berolahraga di sekitar sini, di siang yang terik pula. Ada acara kah?

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang