48. Kebiasaan Abi

2.5K 384 60
                                    

Aku mendengar suara gerbang ditarik ketika sedang memindahkan telur dadar yang baru saja matang ke dalam piring. Abi sudah pulang kah?

Setelah menaruh piring berisi telur dadar di atas meja makan, dengan sedikit berlari kecil aku menyambar jilbab instan yang berada di sandaran sofa lalu bergerak ke pintu depan. Abi ternyata lebih dulu membuka pintu, yang membuat wajahku langsung berhadapan dengannya. Aku menyambutnya dengan sebuah senyuman, yang direspon dengan senyuman pula.

Mau makan siang apa? Biar saya beli sekalian pulang.

Belum genap lima belas menit Abi mengirimkan pesan, tapi ia sudah sampai di rumah dengan membawa kresek putih berisi nasi padang. Meskipun itu nasi bungkus, tapi aromanya berhasil menusuk hidungku sehingga mengundang rasa lapar di perutku. Aku bersegera mengambil alih itu dari Abi lalu lanjut menyalami tangannya.

"Saya kira kamu bakal sore pulangnya." Abi tak ada memberitahu berapa lama ia bekerja, karena itu aku kaget saat ia mengirim pesan yang mengisyaratkan kalau ia akan segera pulang.

"Cuma ketemu klien sebentar kok." sahut Abi seraya melepas satu kancing kemeja bagian atas serta menggulung lengan kemejanya.

"Sebenernya saya ada belanja ke abang sayur yang lewat di depan rumah. Tapi karena tadi Umi dan Manda datang, makanya gak jadi nyiapin makan siang buat kamu." ucapku sambil berlalu ke dapur diiringi oleh Abi.

Kedatangan Umi dan Manda tak lama setelah Abi pergi membuat aku panik karena hanya ada sedikit makanan di rumah. Tak mungkin aku tak menghidangkan makanan bukan?

Niat awalku adalah aku membeli protein dan sayurnya untuk makan siang aku dan Abi. Karena nanti sore kami akan pergi berbelanja. Lagipula harga bahan makanan di abang sayur tak sepenuhnya murah.

Untungnya aku masih bisa menyiapkan makanan sederhana untuk Umi dan Manda, meskipun hanya ayam goreng serta tumis kangkung dan sambal instan andalan Abi. Ditambah lagi keripik rendang telur yang kemarin aku beli di Bukittinggi.

"Iya, Umi tadi hubungin saya nanya kamu ada di rumah atau enggak. Saya juga udah bilang sama Umi kalau gak ada makanan di rumah." Kepalaku yang tadinya menunduk sembari menata nasi padang di atas meja sontak tegak.

"Bi, seharusnya kamu bilang sama saya kalau Umi mau ke sini. Biar saya sempat nyiapin makanan." Setidaknya aku bisa memesan makanan. Daripada tak menghidangkan apa-apa.

"Kenapa gitu?" Dahinya berkerut menandakan keheranan.

"Kok kenapa sih? Memang gitu seharusnya. Bukannya malah bilang ke Umi kalau gak ada makanan di rumah." jelasku.

Bukankah Abi salah urutan? Meskipun Umi itu neneknya, tetap saja statusku adalah sebagai menantu. Aku harus menyiapkan sesuatu jika keluarga dari suamiku datang bukan?

"Jadi seharusnya gitu ya?" Ia malah kembali bertanya.

"Iya." tegasku.

"Gak harus tau." Abi mendekat lalu menyisir rambutku yang agak kusut dengan jari-jarinya. "Lagian Umi ngerti kok kalau kita baru sampai kemarin. Umi maklum, gak protes."

Meskipun tidak protes, tetap saja jika hal ini dibiasakan maka aku sendiri yang akan malu. Bisa saja Umi dan Manda mengira kalau aku tak menyiapkan makanan untuk Abi.

"Tetep aja lain kali kasih tau saya kalau keluarga kamu mau datang ke sini. Biar saya bisa nyiapin sesuatu. Ya?" Aku sungguh malu kalau situasinya akan sama seperti tadi. Meskipun Manda dan Umi tetap makan lahap, tapi aku merasa tidak enak karena hanya menyajikan sedikit makanan.

"Iya." sahut Abi pelan. Ia beranjak menuju westafel untuk mencuci tangannya. "Tadi ngapain aja sama Umi dan Manda?" tambahnya.

"Ngobrol. Saya juga diajarin bikin bakso tadi, sekalian sama kuahnya. Jujur, saya baru tau kalau Umi punya warung bakso." Bahkan salah satu cabangnya ada di kota Pekanbaru. Tapi aku belum pernah makan di sana. Kapan-kapan aku akan meminta Abi untuk mengajakku ke sana.

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang