"Saya sangat menghormati kamu. Karena itu yang saya tawarkan bukanlah sebuah ikatan yang main-main, Kanaya. Saya ingin menikahi kamu."
Semua ucapan Abi masih membekas jelas di benakku, bahkan ketika sudah hampir satu minggu berlalu sejak pengakuannya malam itu. Kata-kata Abi mampu membuatku tak bisa tidur karena tak kunjung menemukan posisi yang nyaman untuk merilekskan tubuhku. Mulai dari menghadap ke kiri, kanan, terlentang, tak ada satu pun dari posisi itu yang bisa membuatku terlelap dengan cepat.
"Apa yang saya katakan hari ini adalah bentuk keseriusan saya. Saya ingin menjalin hubungan yang serius dengan kamu."
Bahkan aku sampai menepuk kepalaku berulang kali untuk menyadarkanku agar cepat tidur dan memikirkan apa yang dikatakan Abi esok hari. Tapi tetap saja mataku tak bisa disuruh memejam. Pikiranku tetap mengarah pada momen saat beberapa kalimat terucap dari mulut Abi dengan mantap.
"Mungkin kata-kata saya hari ini terdengar aneh bagi kamu karena sejak awal kita hanya sebatas teman. Tapi saya serius dengan ucapan saya, Kanaya. Saya serius ingin menikahi kamu."
Tak ada keraguan di balik kata-kata yang ia lontarkan. Ia mengatakan semuanya tanpa terbata-bata dan tersendat. Keyakinan, hanya itu yang bisa aku lihat di matanya.
Abi memang tampak biasa saja. Tapi berbeda dengan diriku. Detak jantungku berdetak sangat cepat tanpa mampu aku kontrol.
"Jadi Kanaya, pikirkan jawabannya ya. Saya akan datang lagi dan menanyakan jawaban kamu. Pastikan ketika saat itu tiba, kamu sudah mendapatkan jawabannya. Saya tidak ingin lagi menunda begitu lama."
Malam itu aku tak mampu mengatakan apapun lagi. Mulutku tertutup rapat seakan tak bisa bergerak. Bibirku seakan diberi perekat yang kuat sehingga aku hanya bisa diam.
Meskipun aku tau Abi tak menyuruhku untuk berbicara, tapi seharusnya aku mengatakan sesuatu. Bukannya hanya membisu. Tapi sayangnya aku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun hingga Abi berpamitan dan menghilang dari pandanganku.
Mau bagaimana lagi? Aku terlalu gugup untuk berbicara ketika mendengar pengakuan mengejutkan itu. Tak sedikit pun terlintas di benakku kalau Abi akan mengatakan hal tersebut. Karena aku kira orang yang Abi maksud bukanlah diriku.
Kenyataan bahwa dia mengutarakan niat serius membuat aku tersentuh. Baru pertama kali aku mendengar hal itu sehingga aku tak bisa berhenti memikirkannya.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk menemukan jawabannya. Bahkan jawaban itu sudah aku dapatkan sejak beberapa hari yang lalu. Aku telah siap untuk menyampaikannya pada Abi. Tapi mendadak ada hal aneh yang baru aku sadari.
Semenjak malam itu, aku tak pernah lagi menemukan keberadaan Abi. Tak sekalipun ia singgah ke kafe baik ketika pulang kerja maupun weekend. Entah karena sedang memberiku waktu atau karena ada hal lain.
Setelah apa yang ia sampaikan malam itu, aku dibuat berpikir panjang.Tapi tiba-tiba ia seperti hilang ditelan bumi. Pikiranku tentu saja melayang kemana-mana.
Tak mungkin hal itu menunjukkan penyesalan atas apa yang ia ucapkan bukan? Aku tak bisa menghentikan pikiranku yang mulai kemana-mana. Karena ia tak kunjung datang menampakkan dirinya. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
"Kak, ada masalah dikit di luar." Yohan datang menampakkan wajahnya di depan pintu. Masalah? Masalah seperti apa yang ia maksud?
Aku akhirnya keluar dan mengikuti langkah Yohan menuruni tangga. Belum sejam kafe dibuka hari ini tapi sudah ada masalah. Padahal sebelumnya tak pernah begini.
Pemandangan pertama yang aku lihat ketika menginjakkan kaki di tangga terakhir adalah seorang wanita yang tengah memarahi Friska dengan melontarkan kata-kata yang kurang mengenakkan. Makian, hinaan, keduanya menjadi satu. Dari jauh saja aku sudah mengenali siapa wanita itu. Dia adalah Rosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Kacamata [END]
Literatura FemininaHidup di perantauan, jauh dari keluarga, jauh dari rumah, selalu merasa sendiri meskipun ada banyak orang di kota metropolitan yang hampir sama padatnya dengan ibu kota. Perjalanan hidup yang tak mudah, apalagi bagi wanita yang sudah berusia lebih d...