5: Horor!

3.4K 431 28
                                    

Suasana hari raya idul adha sudah terasa sejak subuh tadi. Kos kuntilanak yang biasanya tentram di hari libur, sekarang mulai hidup. Kedamaian yang biasanya dirasakan di pagi buta saat tanggal merah seketika sirna.

Kami para wanita yang tinggal di perantauan sepakat untuk pergi shalat idul adha bersama-sama, bersikap seolah-olah kami sedang bersama keluarga. Beginilah salah satu cara menghibur diri tatkala tak bisa merayakan hari besar bersama keluarga di kampung halaman.

Kesibukan tak hanya terdengar mulai dari pagi. Namun sejak semalam mereka sudah sangat sibuk dalam memilih kostum masing-masing.

Aku tau niat terselubung mereka. Tak sepenuhnya memang seratus persen bermaksud untuk pergi ibadah saja. Sebagian tujuan justru mengarah pada keinginan untuk mencari para pria dengan baju koko dan sarung. Keberadaan pria yang menjadi minoritas di area kos putri membuat mereka dijadikan rebutan.

Namun, kos kuntilanak justru memiliki posisi tersendiri berkat Mami Gina. Berbeda dengan kos lain dimana ibu kos hanya datang setiap awal bulan, kos ini justru terus mendapat perhatian dari Mami Gina, yang menjadi salah satu anggota PKK aktif. Pengalaman tahun lalu, biasanya saat idul adha mereka akan mengadakan acara bakar-bakar daging di malam hari, tepat di halaman rumah Mami Gina yang lumayan luas.

Rumah Mami Gina terdiri dari dua bangunan yang letaknya berdampingan. Bangunan pertama adalah rumah lamanya yang sekarang dijadikan kos-kosan. Sementara rumah kedua yang berada tepat di sampingnya, dijadikan tempat tinggal Mami Gina beserta suami dan anak-anaknya.

"Bang Hatta lewat, Vik." Meskipun sedikit berbisik, tapi aku bisa mendengar interupsi Fasya dengan jelas.

Pagi-pagi mereka sudah stand by di teras hanya untuk melihat orang lalu lalang. Setiap ada yang lewat, menghasilkan sebuah obrolan seru, menurut mereka. Kadang hal itu juga lucu menurutku. Humorku memang receh, tapi lebih receh mereka.

Berhubung aku tak terlalu kenal warga sini, maka dari itu aku hanya bisa menyimak. Posisi kamarku yang berada paling depan menjadi tempat yang berisik pagi ini, efek jendela yang selalu aku buka setiap pagi menjelang agar udara segar masuk. Di saat aku sedang sibuk bersiap-siap, mereka justru sibuk memperhatikan kondisi. Ah, atau istilahnya cuci mata?

Ya, puas-puaskan lah selagi masih muda. Sebelum merasakan apa yang namanya patah dan membuat kamu jadi mati rasa. Seperti yang aku alami sekarang. Walaupun tak seratus persen mati rasa. Hanya lelah dan belum siap untuk menerima orang baru. Aku sudah terlanjur nyaman dengan diriku sendiri.

"Bang Hatta gak ada lawan emang. Gue lemah kalau begini." Sekali dayung dua pulau terlampaui. Begitu motto hidup Vika. Namun tujuannya bukanlah semata-mata untuk hal yang baik. Ibaratnya ya, ia akan menciptakan berbagai macam kemungkinan. Kalau lolos semua berarti itu rezekinya, kalau tidak ya harus bikin cabang baru. Aku bahkan tak tau pasti berapa banyak manusia berjakun yang ia nobatkan sebagai gebetan.

"Sayangnya Mas Abi gak lewat sini." Lirih Winda. Ia adalah mahasiswi rambut ikal yang saat ini baru memasuki semester 7 di kampus swasta tak jauh dari sini. Dia adalah penggemar berat Abi.

Entah sejak kapan dimulai, masing-masing dari mereka memiliki pria idaman sendiri. Tentunya harus berbeda, karena kalau sama mereka akan ribut. Tak hanya senang mengagumi para pria cantik melalui layar laptop, tapi mereka juga suka mendamba pria di kehidupan nyata.

"Eh tau gak kalau Bang Jaka udah punya cewek? Gue liat kemarin. Dia jemput ceweknya di kampus gue." Yang paling senang urusan gosip sudah pasti Vika. Tak tau bagaimana cara ia mengetahui sesuatu. Tapi dari semuanya, ia adalah informan yang paling akurat. Itu menurut mereka, bukan menurut aku. Karena bagiku, Vika adalah sumber dosa yang kadang menarik untuk didengarkan.

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang