Pagi-pagi sekali aku menemani Mami Gina belanja di pasar untuk membeli bahan makanan. Hari ini ada acara gotong royong yang diselenggarakan di musala dekat kantor desa. Acara ini rutin diadakan sekali tiga bulan untuk membersihkan musala secara keseluruhan. Meskipun sebenarnya tiap hari selalu ada penjaga yang membersihkan, tapi kegiatan ini tetap dilaksanakan. Salah satu tujuannya adalah untuk menjalin keakraban antar warga.
Mami Gina, sebagai bagian dari anggota PKK, dipercaya menjadi orang yang bertugas untuk membeli bahan makanan yang akan dimasak. Ia jugalah yang bersedia meminjamkan dapurnya untuk digunakan sebagai tempat memasak.
Pertama kali aku bertemu Mami Gina, aku sadar kalau ia bukanlah seperti ibu kos kebanyakan. Satu hal yang pasti adalah ia menerima uang sebagai bayaran bulanan dari kami yang tinggal di kosannya. Tapi di balik itu semua, ada tujuan lain yang hanya diketahui oleh para perempuan yang berada di kosan ini.
Mami Gina punya lima orang anak, yang empat diantaranya sudah menikah. Sekarang hanya ada anak bungsunya yang tinggal di rumah. Awalnya ia tak terfikirkan untuk menjadikan rumahnya sebagai kosan. Tapi karena ia senang keramaian, makanya ia memutuskan untuk membuka kos-kosan
Hal ini menjadi salah satu pengobat hati seorang ibu yang jauh dari anak-anaknya. Setauku, bahkan ada anak Mami Gina yang menikah dengan orang asing dan tinggal di luar negeri. Sudah terbayang kan bagaimana rindunya ia bercengkrama dengan putra-putrinya yang sudah memiliki keluarga masing-masing? Hanya dihitung jari mereka pulang ke sini.
Kalau dipikir-pikir, kosan ini bisa dibilang tak terlalu murah. Malah harganya sedikit lebih mahal dibandingkan kosan lainnya. Namun ketika menikmati fasilitasnya, barulah terasa bagaimana nyamannya kosan ini.
Cukup lihat keadaan dapur, maka kita akan dibuat takjub. Ada kulkas, kompor beserta berbagai peralatan masak. Tak lupa peralatan lain seperti mixer, microwave, blender. Intinya semua peralatan dapurnya bisa dikatakan sangat lengkap.
Sebagai seorang perempuan yang hobi memasak, tentu saja aku langsung tertarik. Bahkan saat itu aku belum melihat kamar yang akan aku tinggali, tapi hatiku sudah condong ke tempat ini. Selama setahun lebih tinggal di kosanku yang lama, aku jarang sekali memasak karena keadaan kosan yang kurang mendukung. Alhasil aku terpaksa harus membeli makanan yang menurutku malah tidak lebih enak dibandingkan masakanku sendiri.
Keunggulan lain dari kosan ini adalah di setiap kamar disediakan kasur yang hanya muat untuk satu orang. Luas kamar tentu tak seukuran kamar kos biasanya karena sejak awal rumah ini dibangun untuk tempat tinggal Mami Gina sekeluarga, bukan untuk dijadikan kos-kosan.
Sudah pasti kamar milikku adalah yang paling besar diantara lainnya. Sementara harga kamarku sama dengan kamar lainnya. Jujur, aku senang dengan hal itu. Karena aku suka dengan kamar yang luas. Aku memang tipe orang yang banyak bicara dan sering merasa kesepian sehingga butuh orang lain. Namun untuk diriku sendiri, aku butuh ruang pribadi yang nyaman. Maka dari itu tak butuh pertimbangan matang untuk menyetujui langsung.
Tapi jangan sekali-kali membiarkan kosan kotor kalau tak ingin mendengar amukan dari empunya rumah. Tiap hari kami bergiliran piket untuk menyapu dan mengepel lantai serta membuang sampah. Kalau kita melewatkan sesuatu yang membuat mata Mami Gina tercemar, bersiap-siaplah untuk mendengar ceramah panjang seharian penuh. Untuk yang satu ini, Mami Gina benar-benar seperti ibu kosan lainnya.
"Nay, itu cabenya Mami taruh dekat kulkas." Sekarang ketika matahari sudah mulai tampak, aku dan Mami Gina beserta beberapa ibu-ibu PKK sekaligus anggota kosan kuntilanak langsung membagi tugas dan memulai kegiatan memasak.
Tak banyak anak kosan kuntilanak yang ikut karena hari ini adalah hari Minggu. Mereka punya agenda masing-masing. Lagian tak ada paksaan untuk membantu kegiatan ini karena kita tidak diupah. Sukarela saja. Siapa yang bersedia menyumbang tenaga dipersilahkan untuk ikut. Bagi yang tidak berkenan, tak akan dipermasalahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Kacamata [END]
ChickLitHidup di perantauan, jauh dari keluarga, jauh dari rumah, selalu merasa sendiri meskipun ada banyak orang di kota metropolitan yang hampir sama padatnya dengan ibu kota. Perjalanan hidup yang tak mudah, apalagi bagi wanita yang sudah berusia lebih d...