57. Rahasia Abi

2.3K 345 26
                                    

"Kamu pucat." Baru saja aku menampakkan wajahku ketika pintu terbuka, Abi langsung berucap dengan nada khawatir.

Tadi aku pamit untuk pulang lebih dulu karena aku sudah tak nyaman sebab kedatangan tamu bulanan. Aku ingin sekali mengistirahatkan tubuh dan memilih untuk pulang sendiri. Karena sudah aku jelaskan, Abi pun mengerti.

"Gak demam kan?" Tanganku yang terulur untuk menyalami Abi tak diacuhkan begitu saja. Ia menempelkan punggung tangannya di keningku untuk mengecek suhu tubuhku.

"Enggak kok. Emang perutnya lagi nyeri, makanya keliatan pucat." Abi menggenggam tanganku agar segera memasuki rumah. Ia tak membiarkan aku membantunya membawa tas yang selalu tampak berat itu dan memilih untuk membawanya sendiri.

"Mau aku cariin obat? Kamu biasanya minum obat apa?" Ia mulai melepas kancing kemeja bagian atas yang ia gunakan dan menggulung lengan kemejanya hingga ke siku.

"Aku gak biasa minum obat kalau lagi datang bulan. Sakitnya hari ini doang kok, besok bakal baik-baik aja." Memang begitulah penyakit datang bulan yang aku rasakan. Meskipun hanya satu hari, dampaknya lumayan terasa.

"Beneran?"

"Iya. Udah sana mandi. Biar aku nyiapin makanan dulu." suruhku. Namun Abi menahan tanganku ketika aku hendak beranjak ke dapur.

"Kita beli makanan aja."

"Bahan-bahannya udah aku siapin loh. Aku beneran gak papa. Sana mandi."

---

Saat keluar dari kamar tadi, aku menemukan minuman yang biasa dikonsumsi oleh wanita yang sedang datang bulan. Ada beberapa botol dengan warna berbeda yang ditaruh di atas meja makan. Sepertinya hal inilah yang membuat Abi pulang terlambat setelah shalat magrib.

Tak hanya itu, aku juga menemukan plester kompres menstruasi. Aku yakin Abi yang membeli. Karena aku tak pernah menyediakan stoknya di rumah. Apa ia tidak malu ya membeli ini?

Tanpa pikir panjang, aku langsung menggunakan plester kompres menstruasi itu dan meminum salah satu botol minuman yang ada. Tak kusangka Abi diam-diam perhatian juga. Seharusnya ia tinggal mengatakan padaku kalau ia membeli kedua barang itu untukku. Tapi ia tak mengatakan apapun tadi. Setelah itu ia berangkat ke masjid lagi untuk shalat isya.

"Bi, masih banyak kerjaannya?" Sepulang dari masjid, Abi kembali berkutat dengan laptopnya. Kali ini ia tak bekerja di ruang kerja, melainkan memilih untuk membawa laptopnya ke kamar agar bisa memantau diriku. Ia tak percaya kalau aku akan beristirahat selagi ia bekerja. Karena itu ia menjadikan dirinya sebagai satpam untuk mengawasiku.

"Tidur, Kanaya. Dari tadi aku suruh tidur tapi masih aja ngajak ngobrol." Bibirku mengerucut sebal karena tak mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang aku lemparkan. Niatku bertanya hanya karena ingin Abi cepat beristirahat. Sejak pulang dari masjid tadi, ia sudah fokus di depan laptopnya.

Mata ini pun akhirnya berusaha untuk terpejam. Biasanya saat datang bulan, aku lebih cepat mengantuk. Butuh waktu yang singkat untuk bertemu dengan dunia mimpi. Tapi sekarang aku malah susah untuk menutup mata.

Perutku yang nyeri, berhasil aku sangga dengan bantal sehingga rasa sakitnya sedikit berkurang. Kalau tidak begini, aku malah tak bisa tidur.

Setelah beberapa lama memejamkan mata, aku merasakan usapan di kepalaku. Tubuhku semakin rileks karena sentuhan lembut yang Abi berikan pada kepalaku. Tapi aku masih sadar seratus persen dan belum memasuki dunia mimpi.

Usapan itu terhenti, tapi tangan Abi masih terletak di atas kepalaku. Pergerakan di tempat tidur berucap seolah-olah Abi sedang mengubah posisinya. Jantungku berdebar dengan sangat cepat tatkala aku merasakan sebuah kecupan di keningku.

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang