21: Alasan di Balik Pilihan Abi

2.4K 395 49
                                    

Aku berharap apa sih sebenarnya? Akan ditahan oleh Abi gitu? Memangnya aku siapa? Toh temannya banyak, bukan hanya aku. Lagipula kenapa aku harus berharap pada orang lain? Padahal aku sendiri tau kalau nantinya aku akan dikecewakan.

Kalimat ini selalu aku ulang setiap hari setelah perbincangan terakhirku dengan Abi. Sejak saat itu pula aku kembali membangun tembok pembatas antara aku dan dirinya karena sepertinya aku sudah bertindak kelewatan. Bukankah ada batas yang tak boleh dilanggar dalam pertemanan?

Selama beberapa ini Bu Yumna selalu mengirimiku pesan, mempertanyakan keberadaan diriku yang tak terlihat selama di area rumahnya. Alasan yang aku berikan cukup sederhana, karena aku agak sibuk dibandingkan biasanya. Maklum, akhir tahun.

Padahal sebenarnya aku sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya dan pulang terlambat dengan memilih untuk mengerjakan pekerjaan yang harusnya aku kerjakan di esok hari. Tak jarang aku sampai di kosan menjelang magrib.

Aku sedang tak ingin bertemu dengan Abi. Entahlah, aku sedang tak mood saja. Mengingat bahwa aku akan pergi dalam waktu dekat, maka dari itu aku sedang belajar membiasakan diri tanpa kehadiran orang-orang yang aku kenal di sini. Agar aku tak merasa kehilangan.

Harus ku akui kalau diriku memang sangat aneh. Aku meminta Abi untuk memilih tapi aku malah bertindak seakan tak menerima pilihannya. Padahal seharusnya aku menerima hal itu bukan?

Sejujurnya aku juga tak mengerti dengan diriku sendiri. Maka dari itu untuk saat ini, entah hal ini benar atau tidak, aku memilih untuk menghindar. Kehilangan orang-orang yang biasanya mengisi hariku adalah hal terberat yang sebenarnya tak ingin aku rasakan. Meskipun aku tau, setiap pertemuan selalu ada yang namanya perpisahan. Tapi aku belum siap untuk itu.

Seharusnya aku ingat ucapan Tia waktu itu, jangan sampai terbawa perasaan. Maka akibatnya tidak akan seperti ini. Salahku juga bertindak seperti wanita murahan yang gampang sekali menaruh hati. Giliran dipatahkan, rasanya sungguh sakit sekali. Jangan salah paham, ini hanya sekedar perasaan seorang teman. Tak lebih.

"Mas Abi ke sini lagi setelah sekian lama." Bisikan Mina terdengar oleh telingaku ketika aku sedang sibuk merapikan meja kerjaku yang sedikit berantakan. Efek mengejar shalat berjamaah sehingga aku membiarkan meja ini ditinggal begitu saja dan memilih untuk ke mesjid lebih dulu.

Sebenarnya ada musala kecil di kantor ini, tapi aku kurang nyaman sebab tak ada pembatas antara barisan jemaah pria dengan wanita. Maka dari itu aku lebih memilih untuk shalat di mesjid daripada di kantor, meskipun kadang terlambat dan tak ikut berjemaah dari awal.

"Ada perlu sama bos berarti. Biasanya kan bukan dia yang ke sini." sahut Sia.

Kantorku ini bukanlah kantor di bidang teknologi, maka dari itu pegawai IT nya hanya membantu hal-hal yang bisa dibilang sederhana. Untuk itu bantuan dari konsultan IT dibutuhkan. Terlebih saat ini di mana Bos kami memiliki rencana yang cukup besar pula.

Salah satu perusahaan yang menyediakan jasa tersebut adalah perusahaan tempat Abi bekerja. Sebenarnya ini bukanlah satu-satunya jasa yang ditawarkan kantor itu, tapi masih banyak yang lain. Kalau ingin lebih jelasnya, mending tanya Abi. Ah, kenapa aku malah ingat pria itu? Eh, tadi Mina dan Sia membahas tentang Abi kan? Maksudnya Abi yang itu?

Kepalaku sedikit tegak, menatap seorang pria yang berjalan santai sembari merapikan lengan kemejanya yang tadinya terlipat, melewati satu persatu ruangan hingga akhirnya masuk ke ruangan Bos Pendi, yang letaknya paling ujung. Efek kaca transparan yang membatasi antara ruangan satu dengan lainnya membuatku bisa melihat dengan mudah pergerakannya.

Ngomong-ngomong tentang Bos Pendi, satu fakta menarik tentang pria nomor satu di kantorku ini adalah dia tak suka dipanggil 'pak'. Semua orang wajib memanggilnya dengan sebutan 'bos'. Aku pun tak mengerti alasannya sebab sedari awal sudah disuruh begitu.

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang