Di saat cuaca sedang terik seperti sekarang, aku paling malas kalau harus keluar dari kantor. Karena Pekanbaru sangatlah panas. Meskipun sudah lebih dari setahun bermukim di sini, tapi aku tetap tak terbiasa dengan cuaca yang dalam waktu sekejap bisa membuat kita kegerahan.
Apalagi selama dua puluh tahun lebih aku hidup di bumi, aku tinggal di daerah yang iklimnya tak terlalu panas. Ditambah lagi saat aku berkuliah, kami sekeluarga akhirnya memiliki rumah sendiri yang berlokasi di kota Bukittinggi yang dikenal memiliki iklim sejuk.
Untungnya ada kipas yang sengaja aku beli untuk tinggal di sini. Siang malam kipas itu menjadi sahabat setia yang menemaniku melakukan apapun.
Aku juga patut bersyukur karena kantorku dilengkapi dengan AC. Meskipun tak terlalu terbiasa dengan udaranya, karena aku adalah penyuka kesejukan alami. Tapi jika disuruh memilih, maka sudah pasti aku memilih untuk menggunakan AC daripada harus berpanas-panasan. Karena aku tak akan nyaman bekerja dalam kondisi berkeringat.
"Ke sini lagi, Bang?" Bang Dipta menegakkan kepalanya tatkala mendengar suaraku. Berbeda dengan waktu itu, hari ini Bang Dipta datang di hari kerja. Dia tidak bolos kan?
Posisi hp yang semula ia putar untuk main game, kembali ia luruskan. Tapi ia masih tak lepas dari benda pipih itu. Kenapa di zaman sekarang banyak sekali orang yang susah untuk jauh-jauh dari benda itu? Termasuk aku tentunya.
Hp memiliki dampak layaknya narkoba, membuat kecanduan. Apalagi jika kuota sedang banyak-banyaknya. Notifikasi baterai tersisa dua puluh persen pun tak dipedulikan. Palingan ditunggu mati dulu, baru disambungkan dengan colokan.
"Ketemu klien tadi." Bang Dipta menarik kursi di sebelahnya agar aku bisa duduk di sana.
Sudah barang tentu aku kaget karena membaca pesan yang Bang Dipta kirimkan tadi. Ia mengabarkan kalau ia sedang berada tak jauh dari kantorku. Untungnya sekarang sudah jam makan siang, makanya aku bisa menemuinya.
"Deket sini?"
"Iya." Bang Dipta berdiri dan memesankan makanan untuk kami. Tak lama ia kembali dengan membawa dua es teh yang tampak menyegarkan di kala cuaca sedang seperti ini.
"Gak bawa nasi tadi?" tanyanya. Dia sangat hafal kebiasaanku karena seringkali mengingatkanku untuk makan tepat waktu dan beristirahat. Sedangkan dirinya sendiri tak ia pedulikan. Padahal ia lebih sibuk dibandingkan aku.
"Enggak. Tadinya mau makan roti aja. Gak tau kalau ternyata Abang ke sini." Bang Dipta menaruh segelas es teh di depanku. Aku lantas menyeruputnya tanpa pikir panjang. Segar rasanya.
Ku lirik Bang Dipta yang kembali asik dengan hpnya. Jujur, aku kesal berbicara dengan orang yang sedang sibuk dengan benda kecil itu. Tapi aku juga berusaha untuk mengerti. Bisa saja ia ada keperluan penting sehingga terfokus pada hpnya.
"Abang jadi pulang?"
Dua hari setelah peristiwa tak mengenakkan yang menimpa Bang Dipta, ia sempat mengatakan padaku kalau ia akan mengambil cuti dan pulang kampung demi meluruskan apa yang terjadi antara dia dan mantan pacarnya. Lebih cepat lebih baik, begitu katanya. Ia ingin cepat membebaskan dirinya dari beban yang selama ini ia tanggung. Karena dengan begitu, ia akan segera membaik.
Bang Dipta bukanlah tipe pria yang akan lepas tanggung jawab begitu saja. Dia tak dibesarkan menjadi orang yang tidak bertanggung jawab. Maka dari itu, ia berencana untuk segera melakukan apa yang harus ia lakukan. Ia juga tampak lebih baik dibandingkan waktu itu.
"Iya, rencana. Udah ngajuin cuti, tinggal nunggu persetujuan aja." Senangnya bisa pulang kampung. "Mau ikut cuti gak Nay? Pulang sama Abang." Aku menggeleng cepat. Pegawai kontrak sepertiku berbeda dengan pegawai tetap. Cuti adalah hal yang susah didapatkan. Apalagi mendadak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Kacamata [END]
Chick-LitHidup di perantauan, jauh dari keluarga, jauh dari rumah, selalu merasa sendiri meskipun ada banyak orang di kota metropolitan yang hampir sama padatnya dengan ibu kota. Perjalanan hidup yang tak mudah, apalagi bagi wanita yang sudah berusia lebih d...