24. Kenyataan!

2.4K 373 56
                                    

"Gak ada yang ketinggalan lagi kan Nay?" tanya Bu Yumna saat aku sudah masuk ke dalam mobilnya dan langsung mengambil posisi di sampingnya.

"Gak ada, Bu. Lagian Naya gak bawa banyak barang." Hanya ada beberapa oleh-oleh serta satu kardus sovenir pernikahan yang dipesan oleh Kak Kirana. Anehnya, dia memesan pada adiknya sendiri. Tak ada potongan harga yang ia minta. Semua uangnya langsung ditransfer lunas ke rekeningku sejak awal dia memesan. Kadang aku tak mengerti dengan jalan pikirannya.

Daripada harus membeli ke orang lain, ia lebih memilih untuk merepotkan adiknya. Padahal sudah lama aku tak membuat souvernir pernikahan. Dulu memang sering, karena membantu Uni Zia.

Untungnya souvernir yang dipesan tidak ribet dan bahan-bahannya juga mudah ditemui. Butuh waktu sebulan bagiku untuk menyelesaikannya karena aku hanya mengerjakannya ketika luang. Keuntungan yang aku dapat juga lumayan, bisa untuk membantu menambah tabunganku.

"Naya sumringah banget karena mau pulang kampung. Gak sabar ketemu keluarga ya?" tebak Bu Yumna. Aku mengangguk antuasias.

Beberapa hari yang lalu aku dibuat pusing karena mencari travel yang akan aku tumpangi untuk pulang kampung. Pernah sekali aku menggunakan jasa travel Pekanbaru- Bukittinggi, namun di tengah jalan aku malah disuruh untuk pindah mobil.

Sudah barang tentu aku cemas saat itu. Bahkan sepanjang perjalanan mataku terus memperhatikan map di hp, memastikan kalau tujuan mobil itu memang ke Bukittinggi. Sejak saat itu aku kapok menyewa jasa travel yang bermukim di Pekanbaru.

Atas saran dari ibu, akhirnya aku merubah jalur dengan memutuskan untuk tak lagi pulang saat pagi. Aku memilih untuk pulang di saat sore, yaitu ketika travel yang tadinya pergi dari Bukittinggi menuju Pekanbaru kembali ke asalnya. Bukan hal yang aneh lagi jika aku sampai di rumah tengah malam bahkan dini hari. Namun karena ibu dan ayahku mengenal baik pemilik jasa travel beserta para sopirnya, makanya aku tak khawatir akan hal itu.

Aku sempat menghubungi mereka waktu itu, beberapa hari sebelum liburanku dimulai, untuk mempertanyakan jadwal mereka ke Pekanbaru. Namun sayangnya mereka ke sini hari Selasa. Padahal aku berencana untuk pulang hari Senin, setelah selesai bekerja. Sebab esoknya aku mulai libur.

Sebenarnya bisa saja aku pulang hari Selasa, namun akan sampai di rumah tengah malam atau dini hari. Aku akan kehilangan waktu istirahatku karena paginya ada pekerjaan yang harus aku lakukan. Terlalu beresiko untuk menjalani aktivitas seharian jika tidak beristirahat dengan cukup.

Sempat terjadi perdebatan sengit di kepalaku hingga akhirnya aku memutuskan untuk bertanya pada Mami Gina, apakah ia mengenal baik jasa travel atau tidak. Karena jika ada orang dalam, maka risiko kita dipindahkan akan kecil, karena mereka merasa segan. Namun Mami Gina tak tau.

Aku sedikit merasa putus asa. Sampai akhirnya terfikirkan untuk nekat memesan travel untuk hari Selasa pagi, dengan resiko kemungkinan aku bakal dipindahkan lagi. Apalagi aku hanya seorang diri.

Namun tiba-tiba saja Bu Yumna datang dan bertanya kapan aku pulang kampung. Aku menceritakan semuanya tanpa ditutup-tutupi sedikitpun, seperti kebiasaanku bercerita dengannya. Firasatku mengatakan kalau Mami Gina mungkin menanyai Bu Yumna tentang travel karena ingin membantuku.

Bukannya pemberitahuan mengenai jasa travel yang aku dapat dari Bu Yumna, namun tawaran untuk ke Bukittinggi bersama-sama. Ternyata Bu Yumna juga memiliki acara yang harus ia hadiri di kampung halamanku itu. Ia berencana untuk mengajakku bareng, sekalian ingin singgah ke rumahku dan bertemu orang tuaku.

Awalnya aku sempat merasa tak enak, karena harus nebeng gratis. Namun Bu Yumna bukan tipe orang yang suka ditolak. Ia tetap memaksaku untuk ikut bersamanya. Akhirnya aku mengiyakan ajakan itu.

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang