27. Tawa Jadi Cinta

2.3K 419 52
                                    

"Nte Ya, itu liat siapa yang datang." Tanganku yang sedang mengatur lauk di atas meja sontak terhenti. Kepalaku sontak menoleh memperhatikan orang yang baru saja masuk ke dalam rumah.

Inilah bedanya menggelar hajatan di tempatku. Kebanyakan orang zaman sekarang memesan makanan lewat katering dan tamu dipersilahkan mengambil makanan sendiri di luar. Tapi jika di daerahku, tak semuanya seperti itu.

Meskipun ada yang menyajikan makanan di luar dengan sistem prasmanan, namun ada pula yang menghidangkan makanan di rumah. Bentuknya seperti rumah makan padang, di mana setiap lauk ditaruh di atas piring kecil dan disusun di atas meja. Nasi dimasukkan ke dalam termos kecil agar tetap hangat. Air pun kobokan selalu disediakan. Jangan lupakan makanan penutup seperti buah, agar-agar, maupun kue.

Makan seperti ini terasa lebih nyaman bagi beberapa tamu yang sungkan untuk nambah ataupun mengambil nasi dalam jumlah banyak sekaligus. Jika dihidangkan, kita bisa makan dan nambah sepuasnya tanpa rasa malu.

Ini tentu saja jadi tugas berat bagi para wanita yang membantu menghidangkan. Setiap ada orang yang baru selesai makan, maka kita diharuskan untuk membereskan semua piring kotor, mengganti lauk yang sudah mulai habis dengan yang baru. Pokoknya setiap piring yang isinya sudah berbeda dibandingkan yang lainnya, musti diganti.

Setiap kali saudaraku menggelar hajatan seperti pernikahan, aku selalu kebagian membantu menghidangkan. Karena memang mayoritas yang melakukan ini adalah anak gadis, karena tenaganya lumayan bisa diandalkan untuk melakukan apapun yang dibutuhkan. Tak jarang malamnya kakiku terasa pegal hingga esok hari. Tapi aku menikmatinya.

Hal itu juga terjadi saat ini. Di saat Kak Kirana menggelar acara pernikahan, sudah pasti aku ikut membantu. Tak hanya untuk menyambut tamu, tapi juga menyiapkan makanan.

Beberapa saat yang lalu adalah puncaknya. Karena mayoritas orang senang sekali pergi hajatan di sore hari. Sekarang karena langit sudah gelap, suasana sudah mulai reda. Keberadaan tamu bisa dihitung jari.

"Biar Uni yang lanjutin. Itu sambut dulu tamunya." Aku yang semula berjongkok ditarik berdiri oleh Uni Zia.

Beginilah cara seorang ibu mengajari anaknya, hingga sang ibu pun keterusan memanggilku 'tante' jika kami berada di lingkungan rumah. Apalagi di dekat anaknya, seperti sekarang. Beda halnya jika aku sedang bekerja dengan Uni Zia. Mana pernah ia memanggilku seperti itu. Nanti orang mengira kalau ia ponakanku.

"Naya sibuk banget." Aku menyalami Bu Yumna yang tampak sumringah saat masuk ke rumah. Aku yakin ini bukanlah hal yang sering ia temukan. Apalagi ia masuk ke dalam rumah, bukan memilih untuk makan di luar.

"Sibuk sedikit, Bu. Ibu sendiri?" Bu Yumna tersenyum tipis lalu memberi isyarat dengan matanya agar aku menatap ke arah luar.

Kedua netraku menemukan Abi yang sedang berbincang singkat dengan ayahku tak jauh dari pintu masuk. Sebagai seorang anak, tentu saja aku tersentuh dengan cara orang tuaku memperlakukan temanku. Ada yang aneh di dadaku hanya karena melihat mereka tampak asik membahas sesuatu.

"Duduk, Bu. Naya kira ibu gak datang." Bu Yumna mengambil posisi di dekat sepasang tamu yang lebih dulu datang.

"Tadinya mau ke sini abis ashar. Tapi Abi yang larang, rame katanya. Makanya milih jam segini." Akhirnya aku merasakan yang namanya duduk secara sempurna setelah sekian lama berdiri dan berjongkok. Pegalnya sudah terasa sejak tadi, namun tetap aku paksakan.

"Sini, Bi." Aku hendak berdiri supaya Abi duduk di dekat ibunya, tapi ia lebih dulu mengambil tempat di sampingku. Sekarang aku justru diapit oleh ibu dan anak ini.

"Langsung makan aja, Bu." Aku mengambilkan piring yang tersedia dan menaruhnya di depan Bu Yumna serta Abi. Bu Yumna lantas mulai mengambil nasi untuk mengisi piringnya.

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang