31. Wanita Pilihan Abi

2.4K 435 103
                                    

"Masa percobaan sebulan. Setelah itu saya yang akan menentukan kamu bisa kerja di sini sebagai manajer atau tidak."

Rasanya aku ingin memukul kepala Abi saat ia mengatakan itu di hari pertama aku mulai bekerja. Sejak awal tak ada pembahasan mengenai masa percobaan. Kalau tau seperti ini, sebaiknya aku segera cari pekerjaan lain. Itulah yang aku pikirkan mulanya.

Namun lambat laun pikiran itu mulai berubah. Bukankah seharusnya aku membuktikan diriku sendiri bahwa aku mampu? Bukannya malah memikirkan kegagalanku. Aku harus menunjukkan kualitas diriku agar aku melewati masa percobaan ini bukan? Akan aku buat ia menyesal karena berani memberikan masa percobaan untukku. Padahal karyawan lain tak ada diperlakukan seperti itu.

Hanya berjarak lima belas menit, email balasan langsung aku terima di malam itu juga. Aku langsung menerima arahan untuk datang ke kafe di hari Sabtu jam 9 pagi, tepat sehari setelah aku berpamitan pada Bos Pendi. Sepuluh hari tak terasa berlangsung sangat cepat hingga aku akhirnya berjumpa dengan pekerjaan baru, jabatan baru, dan tempat kerja baru. Tak lupa wajah baru yang jauh dari kata menyebalkan.

Sebenarnya aku sedikit deg-degan karena di hari pertama datang aku tak tau siapa yang akan aku temui. Tapi ketika berjumpa dengan orang itu langsung, aku hanya bisa menghela nafas panjang.

Aku kira Abi hanya jadi barista di kafe ini. Tapi ternyata ia adalah manajer sebelumnya. Walaupun sebenarnya Abi enggan disebut manajer karena ia hanya datang sesekali untuk mengecek jika ia punya waktu luang.

Abi lebih banyak menyerahkan tanggung jawab mengambil alih pada salah seorang bawahannya bernama Yohan, yang juga seorang barista. Kesibukan menjalani pekerjaan utama adalah alasan Abi akhirnya menawarkan posisi itu padaku.

Jadwal kerjaku bisa dibilang fleksibel. Aku juga mendapat jatah libur sekali seminggu. Namun saat ini aku belum berniat untuk mengambil jatah itu karena sedang berusaha membiasakan diri dengan rutinitas baru. Setelah memulai pekerjaan ini selama beberapa hari, aku mulai menikmatinya.

Aku datang ke kafe setengah jam sebelum kafe buka. Sementara jadwal pulangku sudah diatur. Kalau biasanya manajer kafe pulang ketika kafe tutup, tapi aku tidak demikian. Sebelum waktu isya masuk, aku harus segera meninggalkan kafe. Jika tidak, ada konsekuensinya.

Sempat sedikit heran dengan peraturan ini. Tapi setelah itu aku jadi sadar karena melihat sedikitnya karyawan wanita yang bekerja di sini. Tak ada satupun dari mereka yang diperbolehkan mengambil shift siang. Ketiga orang itu selalu berada di shift pagi.

Alasannya adalah kembali lagi pada peraturan kafe, karyawan perempuan tak boleh bekerja malam. Apalagi kafe ini tutup jam sepuluh. Malah malam Minggu tutupnya lebih lama, yaitu jam 11.

Saat masuk ke dapur aku baru menemukan serangkaian peraturan yang harus diterapkan untuk karyawan. Peraturan pertama adalah tidak boleh ketinggalan waktu shalat hanya karena bekerja. Alhasil mereka selalu bergantian menjalani ibadah ketika waktu shalat sudah masuk.

Khusus untuk pengunjung, ada pula peraturan yang ditetapkan yaitu dilarang memasuki kafe ketika azan. Pemesanan juga tidak akan diterima. Karena tak pernah ke sini ketika datangnya waktu shalat, maka dari itu aku baru mengetahui hal ini.

Aku tak tau siapa pemilik kafe ini. Karyawan lain pun tak ada yang tau. Yang jelas, sejak awal Abi lah yang menjadi pemimpin tertinggi di sini. Mengenai kepemilikan, hanya Abi yang tau. Mau bertanya pun rasanya segan karena aku baru di sini.

Di berkas yang ada di ruangan manajer pun tak ada disebutkan mengenai pemilik kafe ini. Sepertinya orang tersebut meminta Abi untuk merahasiakan hal ini. Entah apa tujuannya.

Satu hal yang pasti adalah ketika laporan bulanan selesai, aku hanya perlu menyerahkannya pada Abi. Setelah itu tugasku berakhir. Karena urusan dengan pemilik menjadi tanggung jawab Abi.

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang