25. Dunia Memang Sempit

2.3K 396 53
                                    

Dengan mengenakan batik tenun model kimono serta celana longgar berwarna senada, ditambah sneakers putih kesayangan yang selalu aku jaga sehingga jarang aku kenakan di sembarang tempat, aku beserta beberapa orang anak buah Uni Zia memasuki gedung yang menggelar acara resepsi pernikahan hari ini. Masing-masing dari kami membawa peralatan yang akan digunakan untuk bertempur.

Sesudah subuh karyawan Uni Zia diharuskan untuk mulai bersiap-siap. Karena acara resepsi akan dimulai tepat pukul sepuluh. Aku menjadi salah satu orang yang turut andil dalam acara ini, karena sejak awal aku sudah memantau persiapannya hingga akhirnya bisa sampai pada tahap ini.

"Udah dibilangin pakai rok sama heels. Siapa tau nemu jodoh di sini." Aku ke sini untuk bekerja, bukan untuk cari jodoh. Jangan-jangan tujuan Uni Zia mengajakku ikut serta adalah karena ada tujuan lain? Patut dicurigai nih.

"Mau pakai rok sempit gitu? Boro-boro mau gerak cepat, jalan aja kayak siput, Uni. Mau pernikahan ini terbengkalai gara-gara Naya gak sampai-sampai di ruangan make up?" Uni Zia menjewer telingaku singkat lalu meraih salah satu koper yang ada di tanganku.

"Lagian Uni aneh-aneh aja deh. Naya disuruh nyetir, nginjek gas sama kopling, masa disuruh makai yang aneh-aneh? Yang bener aja Uni?" omelanku masih saja berlanjut.

Uni Zia menoleh padaku lalu memberikan sebuah cengiran lebar. Dia yang salah karena menjadikanku sopir pengganti di pagi buta agar ia tak harus menggotong karyawannya dan malah diantar oleh suami tersayangnya.

Padahal Uni Zia bukan pengantin baru lagi. Ia sudah menikah bahkan sejak aku duduk di bangku sekolah menengah pertama. Anak tertuanya bahkan sudah berusia sebelas tahun. Tapi mereka masih saja seperti pengantin baru. Bikin iri orang yang masih jomblo saja.

Tak tau apa ya kalau aku juga ingin diantar suamiku ketika bekerja? Sayangnya aku belum punya suami. Akibatnya, mau melakukan apa pun harus bergantung pada diri sendiri.

"Semangat banget anak daronya udah duduk di meja rias." ucap Uni Zia ketika kami memasuki ruang rias pengantin perempuan.

Di Minang, ada istilah marapulai dan anak daro. Marapulai itu adalah sebutan untuk pengantin laki-laki. Sementara anak daro adalah pengantin wanita. Kedua sebutan ini sering digunakan, dibandingkan istilah lainnya.

Pengantin wanita yang akan didandani hari ini tampak cantik meskipun tanpa make up dan hanya mengenakan jilbab tanpa pentul untuk menutupi kepalanya. Ruang rias ini dikhususkan untuk dirinya seorang. Tujuannya adalah agar riasan tak direcoki oleh keluarga. Cukup pengantin saja yang berbicara dan Uni Zia yang bekerja. Agar kedua belah pihak sama-sama merasa senang dan puas.

Hari ini aku kebagian menjadi asisten Uni Zia dalam merias pengantin. Meskipun menjadi pemilik WO, namun kalau urusan ini, hampir semua pengantin selalu meminta bantuannya. Padahal masih ada beberapa perias lain yang bekerja dengan Uni Zia. Tapi sayangnya mereka belum terlalu berpengalaman.

Lokasi gedung tempat diselenggarakannya resepsi pernikahan tak terlalu jauh dari ikon kota Bukittinggi, yaitu Jam Gadang. Gedung ini memang biasa disewa untuk berbagai acara seperti seminar, wisuda, maupun pernikahan. Dua bulan terakhir adalah masa di mana Uni Zia bekerja keras untuk menyiapkan pesta ini.

Aku bersyukur karena diberikan tumpangan kemarin, sehingga aku bisa ikut terlibat hari ini. Lagian Uni Zia akan kesusahan mencari penggantiku, apalagi untuk acara yang bisa dibilang sangat mewah ini. Meskipun peran sudah dibagi masing-masing, tapi posisiku lumayan dibutuhkan jika terjadi hal-hal di luar rencana.

Satu persatu tahap riasan dimulai. Bisa dibilang tugasku tak terlalu sulit sebenarnya. Hanya menyiapkan peralatan yang dibutuhkan Uni Zia. Setiap langkah make up masih sama seperti dulu sehingga aku gampang membantunya karena aku hafal semua langkah itu.

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang