"Bang Dipta!" Bukannya menyahuti sapaanku, ia malah menarikku tanpa permisi agar duduk di sampingnya. Tak lupa telapak tangannya yang besar menutup mulutku seakan melarangku untuk berbicara.
Bang Dipta adalah omku. Dia adalah sepupu ibuku. Kalau keluarga sedang berkumpul, biasanya aku memanggilnya dengan sebutan 'om'. Karena aku akan dimarahi jika menggunakan panggilan lain. Tapi ketika kami di luar, ia enggan dipanggil dengan sebutan itu. Terlalu tua katanya.
Salah dia karena lahir terlalu telat sehingga ia seumuran dengan keponakannya sendiri. Bahkan ada keponakannya yang lebih tua dari dia. Dunia memang penuh misteri.
"Diem, nanti ketahuan." bisiknya. Aku mengangguk tanda sepakat untuk mengunci mulutku, membuat ia menjauhkan tangannya. Mataku memicing, menatapnya dengan penuh selidik. Ada apa gerangan hingga ia tampak berusaha untuk sembunyi-sembunyi? Dia sedang belajar jadi detektif kah?
Hari ini adalah hari Minggu. Sudah pasti ia tak bekerja. Apa yang membuatnya jauh-jauh ke sini? Padahal aku tau, meskipun weekend, ia selalu sibuk dengan pekerjaannya yang seakan tak ada habisnya.
"Bang..."
"Diem Naya!" geramnya.
Aku melipat bibirku, memilih untuk tak lagi membuka mulut karena ujung-ujungnya ia akan marah. Namun aku tak menunggu ia menjelaskan, melainkan mencari tau sendiri.
Kedua netraku mengikuti arah pandangnya yang tertuju pada sepasang manusia yang duduk di sudut kafe. Apa yang membuat ia tertarik untuk melihat orang pacaran? Aku tau ia tidak iri dengan hal itu, karena dia juga punya pacar.
Setelah aku teliti baik-baik, sepertinya aku mengenali wanita yang duduk dengan posisi membelakangi kami itu. Perawakannya tampak familiar buatku.
"Itu Kak Nia bukan?" tanyaku pada Bang Dipta. Ia tak merespon dengan mulutnya, malah bergerak untuk mengambil gelas yang ada di depannya lalu menyeruputnya seteguk. Tanpa ia beritahu, aku sudah tau apa jawabannya. Sedikit demi sedikit aku mulai mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Kak Nia adalah pacar Bang Dipta sejak zaman perkuliahan. Bang Dipta lebih dulu merantau ke Duri. Setahun kemudian, ia mencarikan pekerjaan untuk pacarnya dan berhasil dapat izin dari orang tua Kak Nia untuk membawa wanita ikut merantau.
"Itu gak mungkin temennya kan? Sampe ngusap kepala lagi. Setau Naya, Kak Nia mana pernah seakrab itu sama cowok." Bang Dipta membuang pandangannya ke arah luar kafe pertanda bahwa ia sudah cukup melihat hal yang membuat ia panas.
Aku sangat mengenal wanita yang tengah tertawa bahagia dengan lelaki di sampingnya itu. Ia adalah tipe wanita yang tak banyak bicara. Bahkan denganku saja, ia susah sekali akrab. Kak Nia juga jarang sekali tertawa. Biasanya ia merespon gurauan seseorang hanya dengan senyum singkat. Namun sekarang, aku bisa melihat ia tertawa lepas.
"Abang putus sama Kak Nia?" Kalau mereka putus, seharusnya aku sudah tau.
Bang Dipta menggelengkan kepalanya membuatku tertegun. Apa itu artinya Kak Nia berselingkuh? Kenapa dia membuat rumit keadaan dengan bertindak seperti ini? Perselingkuhan akan membuat hubungan mereka berakhir tanpa sempat diresmikan di depan penghulu. Dia tak memikirkan hingga ke sana?
"Terus kenapa cuman di sini? Samperin dong!" suruhku.
Jangankan menghampiri mereka, ia bahkan terlihat menempel di tempat duduknya, seakan ada lem kuat yang melarangnya untuk berdiri. Sama sepertiku, ia tak menyangka gadis yang telah lama ia pacari ternyata seperti ini di belakangnya. Aku bahkan masih bisa melihat tatapan penuh cinta itu. Ia ingin melepaskan, namun masih ada yang membuatnya enggan melakukan itu.
"Gak Nay..." Bang Dipta mencekal tanganku tatkala hendak melangkah ke sana. "Biar Abang yang kelarin sendiri."
"Dengan cara diam seperti ini? Naya yakin ini bukan yang pertama kalinya. Naya bener kan Bang?" Ia menggenggam erat pergelangan tanganku, menandakan apa yang aku ucapkan adalah kebenaran. Cinta boleh saja, tapi jangan bodoh. Itu adalah prinsip yang harus dipegang teguh.

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Kacamata [END]
Literatura FemininaHidup di perantauan, jauh dari keluarga, jauh dari rumah, selalu merasa sendiri meskipun ada banyak orang di kota metropolitan yang hampir sama padatnya dengan ibu kota. Perjalanan hidup yang tak mudah, apalagi bagi wanita yang sudah berusia lebih d...