64. Malam Berakhir Tanpa Penyelesaian

3K 336 34
                                    

Hari ini acara tahlilan kembali digelar, bertepatan dengan setahun meninggalnya mama mertuaku, Bu Yumna. Segala persiapan sudah dilakukan sejak kemarin. Ramainya orang datang tak kalah jika dibandingkan dahulu.

Sama dengan tahlilan sebelumnya, Yana masih menampakkan dirinya sebagai sosok yang dekat dengan keluarga Abi. Sebenarnya aku tak perlu khawatir karena kehadiran dia, sebab saat ini aku sudah berstatus sebagai istri Abi. Namun karena kejadian beberapa hari yang lalu membuat aku sedikit gusar. Apalagi hingga sekarang aku masih menutup rapat hal ini dari Abi.

Waktu itu setelah Abi berangkat kerja, aku kedatangan tamu tak terduga yaitu Tante Maria dan Yana. Entah apa yang membawa mereka datang bertamu di pagi hari. Dugaanku awalnya adalah karena mereka tak enak menggangguku ketika bekerja di kafe.

Aku menyambut kedatangan mereka dengan tangan terbuka disertai senyum ramah. Tak lupa menyiapkan minuman serta cemilan yang tersedia di rumah. Namun ucapan yang dilontarkan oleh Tante Maria sebagai pembuka pembicaraan berhasil membungkam mulutku.

"Kamu belum hamil lagi?" Tak ada kalimat basa-basi yang mempertanyakan perihal kabar, padahal sudah lumayan lama kami tak bersua. Tiba-tiba saja terdengar pertanyaan yang langsung menusuk ke hatiku. Kalau saja nadanya terdengar biasa di telingaku, maka aku tak mempermasalahkannya. Namun intonasi bicara yang langsung menyinggung itu berhasil membuatku mati kutu.

Butuh usaha keras untuk melupakan keguguran yang aku alami setelah beberapa bulan ini berhasil melewati masa itu bersama Abi. Tapi aku merasa kalau aku kembali pada titik semula, setelah mendengar ucapan Tante Maria.

Semua persediaan kata-kata di kepalaku mendadak hilang. Jangankan untuk menjawab pertanyaan Tante Maria, untuk menatap matanya pun aku tak berani. Aku benar-benar merasa rendah diri. Bukan hanya sebagai seorang istri, tapi juga sebagai seorang perempuan.

"Kamu seharusnya sadar kalau Abi itu jadi anak satu-satunya sekarang. Hanya dia pewaris keturunan orang tuanya yang tersisa. Kamu tak mau memberinya keturunan?" Ceramah Tante Maria tetap berlanjut meskipun tak mendapat jawaban dariku.

Tentu saja aku mau melahirkan seorang pewaris untuk Abi. Sangat mau malah. Namun aku belum dipercaya untuk mendapatkannya. Sekali lagi bukan karena aku enggan, tapi takdirku belum mengarah ke sana.

"Papi sama Manda Abi sudah divonis tak bisa punya anak sejak dari lama. Harapan pewaris keturunan dari keluarga ayah Abi terletak pada tangan Abi. Kamu gak kasian sama Umi yang sudah tua dan berharap bertemu cicitnya dengan segera?"

Bagai ditimpa batu berulangkali, aku hanya bisa menerima pukulan itu tanpa mampu memberikan perlawanan. Aku pasrah tatkala mengingat kalau tak ada gunanya aku membela diriku, sebab saat itu posisiku serba salah. Apalagi orang luar juga ikut menyimak setiap lontaran kalimat yang keluar dari mulut Tante Maria, membuat aku semakin mantap untuk diam.

Apapun yang dikatakan Tante Maria adalah urusan keluarga. Tak seharusnya ia melibatkan orang lain. Karena itulah aku memilih untuk tak mengatakan apapun meskipun kepalaku rasanya sudah sangat panas hingga ingin meledak.

Setelah mengalami keguguran, aku selalu memantau jadwal bulananku dengan menandainya agar tak terlewatkan. Setiap kali terlambat sehari atau beberapa hari, tiba-tiba aku merasa antusias dan langsung membeli tespek. Hasil yang aku dapat selalu tak sesuai dengan keinginanku. Apalagi setelahnya aku langsung datang bulan.

"Kamu mau saya berikan solusi?" Aku hanya mengangguk saat itu, karena tak tau harus bereaksi bagaimana. "Carikan istri kedua untuk suami kamu. Saya bisa merelakan suami saya dengan berbagi bersama wanita lain. Bukankah kamu juga bisa? Kita sama-sama wanita yang menginginkan yang terbaik buat suami kita kan?"

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang