Abi tampak mengecek sesuatu di laptopnya. Tak lama, laptop itu kembali ia matikan lalu beralih memeriksa hpnya. Orang sibuk seperti dia tak bisa santai begitu saja meskipun sedang cuti. Apalagi ia tak ada memegang kedua benda itu sejak tadi.
Setelah selesai dengan rutinitasku di kamar mandi, aku kembali ke kamar dan menemukan Abi yang bersandar pada kepala ranjang dengan posisi hp yang rebah. Tatkala melihatku datang, ia sontak menyingkirkan hpnya ke atas nakas. Pasti ia sedang main game tadi.
Abi lebih dulu mengisi ranjang di bagian tepi. Itu artinya aku yang harus tidur dekat dinding. Melihat Abi bersiap untuk tidur, aku pun mulai menaiki ranjang.
Aku berusaha untuk santai, seakan ini adalah hal yang biasa. Padahal malam ini menjadi kali pertama aku tidur bersama Abi. Tentu saja aneh ketika sekamar dengan laki-laki. Seumur-umur, aku bahkan tak pernah tidur sekamar dengan Azwan.
Kami berdua masih sama-sama duduk diam tanpa melakukan apapun selain bernapas. Selama beberapa lama, tak ada yang memulai pembicaraan. Kami sibuk dengan pikiran sendiri, sembari memikirkan apa yang harus dikatakan.
Abi tampak tenang dengan menatap lurus ke depan. Sementara bola mataku selalu bergerak dengan gelisah. Bagaimana caranya menghilangkan kecanggungan ini?
"Kamarnya kamu yang nata?" Ku sapu pandanganku memperhatikan ke sekeliling kamar hingga sebuah senyum muncul di wajahku. Untunglah berkat bantuan orang pelaminan, kamar ini dihias dengan sangat baik. Tentunya sesuai dengan keinginanku juga.
"Sebagian besar iya. Tapi dekornya dibantu sama orang pelaminan." Menurutku tak terlalu penting mendekorasi kamar, karena aku dan Abi juga tak akan menetap di sini. Hanya beberapa hari kami akan tinggal. Setelah itu kami akan kembali ke Pekanbaru karena masa cuti Abi terbatas.
"Uang yang kamu kirim terlalu banyak. Masih banyak banget sisanya." lanjutku kemudian.
Abi mengirimkan sejumlah uang ke rekeningku untuk membeli perabotan di kamar. Padahal aku sudah punya anggaran untuk yang satu itu. Namun jika aku tak memakai uang Abi, bakal lebih salah lagi karena Abi sudah mengamanahkan uangnya untuk aku gunakan.
Bahkan untuk acara resepsi di rumahku, ada uang adat yang diantarkan oleh keluarganya dengan jumlah yang cukup banyak. Menurut tradisi keluargaku, kami tak pernah mensyaratkan adanya uang adat. Lagian acara ini diselenggarakan di rumahku. Sudah barang tentu kami yang menyiapkan semuanya. Apalagi keluarga Abi juga mengadakan resepsi di Pekanbaru seminggu lagi. Tapi menolak uang adat yang diberikan juga bukanlah hal yang baik.
Aku sangat bersyukur karena banyak sekali orang yang membantuku dalam menyelenggarakan resepsi pernikahan yang sesuai dengan keinginanku. Bisa dibilang, tak sedikit pun uangku keluar untuk acara ini. Aku lebih banyak menggunakan uang uang aku peroleh untuk diriku sendiri.
Kalau urusan kamar, seorang wanita di Minang itu mendapat bagian warisan yang diturunkan dari orang tua, termasuk rumah. Rumahku ini terdiri dari empat kamar. Dua kamar sudah diperuntukkan bagi aku dan kakakku. Sementara laki-laki tak kebagian karena tatkala mereka menikah, tempat tinggal mereka adalah di rumah istri. Tapi ayah dan ibu sengaja menyiapkan kamar untuk Azwan karena saat ini ia masih belum beristri. Hanya kamar Azwan yang berada di lantai dua.
Kamar depan yang semula diisi oleh Kak Kirana saat ia menikah, sekarang menjadi milikku. Ia harus pindah ke kamar lain karena memang begitulah ketentuannya. Siapa yang terakhir menikah, maka kamar depan akan menjadi miliknya.
"Bagus dong. Saya malah khawatir uangnya kurang." Perihal uang yang dikirim Abi, hanya separuh yang digunakan sebab uangnya memang terlalu banyak. Lagipula aku mendapat banyak diskon karena memesan di tempat langganan Uni Zia.
"Lagian kita bakal jarang juga di sini." cicitku pelan.
Di acara pernikahan, kamar pengantin sengaja dihias sedemikian rupa dan dibiarkan terbuka karena orang yang datang bisa dengan mudah melihatnya. Entah apa tujuannya, yang jelas kebiasaan ini sudah lama berkembang. Aku pun sering menengok ke dalam kamar pengantin karena penasaran bagaimana isinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Kacamata [END]
Chick-LitHidup di perantauan, jauh dari keluarga, jauh dari rumah, selalu merasa sendiri meskipun ada banyak orang di kota metropolitan yang hampir sama padatnya dengan ibu kota. Perjalanan hidup yang tak mudah, apalagi bagi wanita yang sudah berusia lebih d...