47. Momen Yang Harus Diingat

2.5K 374 42
                                    

"Biar saya aja." cegah Abi. Ia bergerak cepat untuk memakai celemek demi melindungi bajunya. Sedangkan aku lebih dulu meraih spons serta sabun cuci piring dan memulai kegiatanku. Abi masih kalah gesit dibandingkan aku.

"Baju kamu nanti basah." Aku tak memperdulikan ucapan Abi, tetap melanjutkan kegiatanku tanpa berniat untuk menyahuti ucapannya. Perihal baju yang basah bisa diganti.

Delapan orang mengadakan acara makan-makan, sudah barang tentu banyak peralatan makan yang harus dibersihkan. Meskipun sebenarnya kami sama-sama tidak mendapatkan jumlah yang seharusnya karena mangkuk di rumah Abi jumlahnya terbatas. Lagipula ia tak memberitahu aku sebelumnya, makanya aku belum mengeluarkan beberapa mangkuk yang aku dapat dari hadiah pernikahan. Mau bagaimana lagi, sudah terlanjur.

"Sini." Abi memutar tubuhku menghadap padanya. Ia lantas memasangkan celemek lain untukku. Warnanya sama persis dengan celemek yang ia gunakan, yaitu hitam.

Kami berdua bekerja sama mencuci piring. Aku yang kebagian menyabuni, sementara Abi membilas. Jika melihat Abi melakukan sesuatu, aku merasa kalau ia sangat profesional dibandingkan pria lain. Karena ia tampak santai melakukannya, seakan ini adalah hal yang biasa. Apa karena ia terlanjur nyaman tinggal sendiri sehingga ia terbiasa melakukan semuanya tanpa bantuan orang lain?

Tadi saja ia yang memasak sukiyaki. Meskipun hanya tinggal dimasukkan ke dalam panci berukuran besar, tetap saja ia yang dipercaya oleh Jena. Itu artinya memang hanya Abi yang bisa diandalkan dalam urusan masak, jika dibandingkan dengan ketiga teman lelakinya.

"Kalau diingat-ingat nyebelin ya." ucapku disela kegiatanku. Rasanya aku ingin melempar salah satu mangkuk di hadapanku pada Abi. Tapi aku tak mau dia terluka, karena pada akhirnya aku sendiri yang akan repot.

"Siapa?" Abi belum sadar arah pembicaraanku ya? Padahal aku membahas mengenai hal tadi, minuman dengan garam yang dihidangkan Abi untukku. Karena tiba-tiba diingatkan oleh Leo, makanya momen itu kembali terlintas di kepalaku.

"Kamu."

"Saya emangnya ngapain?" Pura-pura tak tau lagi.

"Kamu lupa apa yang udah kamu lakuin ke saya?" Abi berhenti sejenak dari aktivitasnya lalu menganggukkan kepala polos. "Kenapa cuma saya yang jadi korban minuman pakai garam?" todongku. Abi mengerjapkan matanya sekali lalu menipiskan bibirnya seraya menggelengkan kepala. Bisa-bisanya dia tersenyum.

"Bi, kenapa?" tuntutku.

Hp yang tiba-tiba berdering membuat aku spontan menoleh ke mini bar. Abi mencuci tangannya lalu mengeringkannya dengan handuk yang menggantung di dekat sink. Ia beranjak untuk mengambil hpku dan kembali mendekat padaku.

"Azwan." ucap Abi seraya menggeser tombol hijau lalu menempelkannya di telingaku.

"Halo assalamualaikum." sapaku. Aku hendak mengambil alih hp itu dari tangan Abi, tapi ia tak membiarkanku memegang hp itu. Ia menyingkirkan tanganku dan memilih untuk memegangi hp itu sembari aku mengobrol dengan Azwan.

"Waalaikumsalam. Uni kok ngirim uang? Uni kan udah sebulan lebih gak kerja. Belum lagi keluar uang pas nikah. Gak usah deh, Uni. Uang Azwan masih ada." Kalau aku bekerja, Azwan memang tak pernah protes ketika diberi uang jajan. Tapi ia enggan menerima karena ia tau kalau aku sudah lama tak bekerja.

"Bang Abi yang ngasih buat jajan Azwan. Kalau buat beli yang aneh-aneh awas aja ya. Skin skin apalah itu, gak boleh pokoknya. Uni gak rela." Tawa Azwan terdengar dari seberang, diikuti oleh tangan Abi yang terangkat untuk merapikan rambutku.

Kemarin Abi sempat singgah ke ATM untuk mengambil uang. Awalnya aku tak tau kalau Abi mengambil uang untuk ibu. Ketika ia memberikannya padaku, tentu saja aku menolak. Terlebih lagi ia juga mentransfer uang jajan untuk Azwan ke rekeningku. Aku sempat merasa tidak enak mulanya.

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang