58. Abi Kenapa?

2.3K 319 23
                                    

Berbukalah dengan yang manis-manis 😆😂🤣

Kepalaku yang semula menopang pada meja perlahan mulai tegak. Aku baru tidur sebentar namun sudah terganggu karena suara dari luar. Mataku mengerjap, menatap bayangan seseorang yang berada di depan pintu. Ah, sepertinya aku mulai melantur.

Mulutku menguap panjang beriringan dengan pergerakan kepalaku yang kembali rebah ke meja. Lenganku cukup empuk dijadikan bantal yang membuat tidurku jadi lebih nyenyak. Kalau dilanjutkan, aku pasti kebablasan hingga kafe tutup.

Sudah lewat waktu isya, tapi aku masih berada di kafe. Jika Abi tau, ia pasti akan mengomeliku habis-habisan. Untung saja ia sedang ke luar kota. Ngomong-ngomong tentang Abi, kenapa dia tak ada menghubungiku seharian ini?

"Abi ke mana sih?" Gumamanku terdengar seperti sebuah gerutuan karena aku tak ada menemukan notifikasi pesan masuk yang aku harapkan.

Kemarin Abi menghubungiku setelah magrib. Sekarang ia tak ada memberi kabar sekalipun. Baru semalam ditinggal Abi membuatku merasa sangat kesepian. Kehilangan partner berdebat membuat kesunyian menyelimuti seluruh penjuru rumah.

Karena merasa ada hal yang janggal, wajahku sedikit berpaling ke arah pintu. Bayangan seseorang itu masih nampak, membuat tanganku terangkat untuk mengusap kedua mataku. Aku salah lihat kan ya? Tak mungkin Abi di sini.

"Abi kan pulang besok, Kanaya. Udah deh mengkhayalnya. Gak mungkin Abi di sini." Aku memukul kepalaku beberapa kali untuk mengembalikan nyawaku yang mulai terbang. Efek belum puas tidur makanya aku mulai menemukan objek aneh.

Untuk kesekian kalinya aku mencari tempat ternyaman untuk kepalaku lagi di atas meja. Namun sungguh tak nyaman tidur dalam kondisi seperti ini dalam jangka waktu yang lama. Mungkin lebih baik aku lekas minggat dari sini. Tapi aku tak berani untuk pulang.

"Kanaya?" Aku terperanjat dan menegakkan badan dengan cepat. Suara Abi-lah yang membuatku begini. Usapan kasar di kedua mataku membuat aku menyadari satu hal, Abi memang berdiri di depan pintu. Itu bukan sekedar halusinasiku. Sejak kapan dia ada di sana?

Kepalaku mendadak terasa gatal, bingung harus bagaimana. Ketika nyawaku berhasil terkumpul dengan sempurna, aku lantas merapikan mejaku yang sedikit berantakan. Kalau tau Abi pulang hari ini, seharusnya aku sudah sampai di rumah dari tadi. Jika tidak, maka aku harus bersiap-siap untuk menghadapi kemarahan Abi.

"Pulang!" titahnya sebelum berbalik menyingkir dari ruanganku.

Aku berjalan dengan sedikit cepat mengiringi langkah Abi hingga keluar kafe. Kaos dan jaket yang ia kenakan menandakan kalau ia sudah pulang ke rumah sebelum datang ke kafe. Karena aku ingat persis kedua pakaian itu tak ada di dalam kopernya. Sebab aku yang memasukkan semua pakaiannya sebelum ia pergi.

Abi merebut kunci motor dari tanganku tanpa membuka mulutnya lagi. Bahkan ia hanya diam tanpa memberi isyarat agar aku naik. Dapat aku simpulkan bahwa saat ini Abi sangat marah. Sudah barang tentu ia marah, karena aku tak mengindahkan peringatannya untuk pulang lebih awal.

Berbeda dengan biasanya, tak ada lagi obrolan di sepanjang perjalanan. Aku yang sering memulai pembicaraan pun mendadak bingung harus mengawalinya. Karena aku sadar kalau Abi sedang dalam kondisi berang. Memaksanya untuk mengeluarkan suara sepertinya akan jadi musibah bagiku.

Bahkan ketika kami sampai di depan rumah dan turun dari motor, Abi tetap betah dengan mulut yang tertutup rapan. Sementara aku hanya bisa mengikuti pergerakannya hingga kami masuk ke dalam rumah, layaknya anak itik yang mengekor induknya.

"Mas..." Langkah Abi yang hendak menaiki tangga seketika terhenti. Ia masih membelakangiku seakan tak berminat untuk menatapku. "Maaf." ucapku bersungguh-sungguh.

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang