"Kak Naya, rapat dikit lagi." ucap Eno, fotografer yang bekerja sama dengan Uni Zia. Ini saja sudah mentok. Bagaimana caranya lebih rapat? Yang ada tubuhku akan mendorong Abi. Bisa saja ia terjatuh dan mendarat di lantai.
Usai acara di rumah, sehabis ashar aku dan Abi bergegas menuju studio foto. Jikalau orang lebih banyak menggelar foto prewedding, aku memilih untuk melakukannya pasca wedding. Alasannya adalah karena lebih aman.
"Abang aja yang maju dikit lagi, Bang." Eno tau kalau aku tak bisa disuruh, karena itu ia mencari sasaran lain.
Abi mendekatkan posisinya padaku. Meskipun saat ini aku tak melihat wajahnya karena ia lebih tinggi dariku, tetap saja aku gugup. Debaran jantung ini bahkan tak bisa lagi aku kontrol. Salah satu kerugian foto setelah sah adalah posenya terlalu bebas. Tapi tunggu dulu, bisakah aku menyebutkan hal itu sebagai kerugian?
"Tatap suaminya Kak." Aku mendongak, langsung berhadapan dengan Abi yang sedikit menunduk untuk menatapku. Abi tampak biasa saja, berbanding terbalik dengan aku. Apa aku yang terlalu berlebihan? Atau mungkin ia lebih pintar menyembunyikan apa yang sedang ia rasakan?
"Bang, cium kening." Aku menatap Eno dengan sengit, yang disambut oleh tawa lebar. Meskipun aku akui hasil fotonya sangat bagus, tapi kadang Eno sangat iseng.
"Kak, udah ngerasain kan gimana ribetnya klien yang susah dibilangin?" Makin berani saja dia. Eno masih untung karena aku mengenakan rok hari ini. Jika tidak, aku bisa saja melempar sepatu yang aku kenakan padanya.
Aku berhasil menahan Eno untuk memerintahkan aku dan Abi berpose berlebihan ketika di rumah tadi, karena aku malu dilihat orang ramai. Berhubung kali ini di studio, aku bisa memakluminya. Meskipun aku tetap naik darah karena mendengar instruksi yang tidak ada habisnya.
Abi tak protes setiap kali diminta melakukan sesuatu. Seperti sekarang, ia mendekatkan bibirnya ke dahiku, membuat napasku tercekat. Ku remas lengan Abi yang berada di genggamanku tatkala aku merasakan bibirnya menyentuh dahiku.
"Tahan." Iya, memang sudah ditahan ini. Walaupun lututku sudah mulai gemetar. "Oke." Bibir Abi menjauh dariku, membuat kepalaku menoleh ke arah lain. Aku sedikit menyesal karena acara ini. Seharusnya ditiadakan saja. Salahku juga sebenarnya.
"Nyender ke Bang Abi, Kak." Yang satu ini tak kalah menegangkan.
Abi sepertinya sudah muak karena aku berlama-lama setiap berganti pose. Makanya ia lebih dulu menarik tubuhku agar bersandar padanya. Sebenarnya tinggi badanku melewati bahu Abi, tapi tak melebihi telinganya. Karena itu kalau mau bersandar tak terlalu masalah.
Nyaman, satu kata yang tepat untuk menggambarkan posisi ini. Aku bisa merasakan detak jantung Abi yang sama kerasnya seperti diriku.
"Maaf ya." bisik Abi sebelum ia menaruh tangannya di pinggangku, mengikuti perintah Eno. Entah sudah berapa kali aku mendengar ia mengatakan hal itu. Karena setiap kali ia diminta untuk menyentuh pinggangku, Abi selalu mengucapkan maaf. Padahal sebenarnya Abi tak perlu mengatakannya.
"Nyaman banget si Naya nyender." sela Uni Zia yang datang tiba-tiba.
"Pengantin lama gak usah sirik." ejekku.
"Dia langsung mengerti kalau saya iri saudara-saudara." Uni Zia membuat aku tertawa disela kegugupanku.
"Kak, yang terakhir. Saling natap lagi. Wajahnya lebih deket." Kali ini giliran aku yang tak mau berlama-lama, agar kegiatan Eno cepat selesai. Aku pun harus ganti baju setelah ini dengan yang lebih santai. Karena sesi selanjutnya akan lebih manis dan lucu, bukan romantis seperti sekarang.
"Majuin dikit lagi, Bang." Hidung aku dan Abi bahkan hampir bersentuhan, tapi masih disuruh maju?
Mataku seperti dihipnotis, tak sekalipun berkedip menatap Abi. Sekali lagi ia memang tak lepas dari kaca matanya. Padahal aku suka melihat Abi tanpa kacamata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Kacamata [END]
ChickLitHidup di perantauan, jauh dari keluarga, jauh dari rumah, selalu merasa sendiri meskipun ada banyak orang di kota metropolitan yang hampir sama padatnya dengan ibu kota. Perjalanan hidup yang tak mudah, apalagi bagi wanita yang sudah berusia lebih d...