Firasatku mulai tidak enak sejak melihat Kenan dan Kevan berjalan menghampiri aku yang berdiri di luar gerbang. Berbeda dengan Kevan yang tampak bahagia sepulang dari hari pertama beraktivitas di taman kanak-kanak, Kenan malah diam saja. Ia menyalamiku singkat lalu masuk ke dalam mobil dan duduk di tempatnya. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. Bahkan ia tak menyapa Kaniya yang terus memperhatikannya.
Kalau sebelumnya Kaniya akan menangis hebat ketika merasa tak dihiraukan Kenan. Namun hari ini dia seakan memahami suasana hati Kenan yang tampaknya kurang baik dan memilih untuk bungkam.
Kaniya lahir ketika umur Kenan dan Kevan menginjak dua tahun tiga bulan. Hamil ketika kondisi masih menyusui dua orang anak sekaligus terasa sungguh berat. Tapi berkat bantuan banyak orang, aku berhasil melewati masa itu meskipun harus melalui ribuan drama yang melelahkan.
Hadirnya Kaniya membuat suasana rumah semakin ramai. Pribadinya yang ceria membuat siapa saja menyukainya. Tentu saja sosok yang paling ia sukai tidak lain dan tidak bukan adalah papanya sendiri, Abi.
Waktu hamil Kaniya, aku sangat cengeng. Seringkali aku menangis kalau harus ditinggal Abi bekerja. Kalau Abi keluar kota, nangisnya bisa berhari-hari sebelum dia berangkat.
Semuanya tak berhenti begitu saja ketika aku melahirkan, sebab Kaniya menuruni sifat yang demikian. Adanya Abi bagai penawar segala hal baginya. Dia mulai rewel ketika tak menemukan keberadaan papanya. Tapi seiring berjalannya waktu, Kaniya mulai bisa dikontrol.
Banyak orang yang mengira kalau Abi terlalu obsesi padaku sehingga menamai ketiga anak kami dengan menggunakan awalan huruf K. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Abi belajar dari pengalamannya sendiri, yang sering berada di absensi paling atas sehingga mengharuskannya untuk selalu siap sedia kapanpun dibutuhkan. Dia tak mau anak kami mengalami hal serupa.
"Nda, mau lagu yang tadi pagi." ucap Kevan dari bangku belakang.
Alunan musik seketika memenuhi mobil. Sudah terdengar gumaman Kevan yang mengiringi setiap kata demi kata dengan energi yang seakan tak ada habisnya. Kepala Kaniya yang mulai bersandar menandakan ia bersiap ke dunia mimpi. Sedangkan Kenan belum mengubah ekspresinya sedikit pun.
Ketika lagu yang berdurasi selama lima menit itu berhenti, Kevan memecah keheningan di mobil dengan mengawali cerita tentang apa saja yang ia lakukan hari ini. Mulai dari sejak berbaris di halaman lalu masuk ke dalam ruangan, sampai ketika berpamitan pada guru hendak mau pulang. Tak ada satupun yang terlewat.
Jangankan ikut menimpali cerita yang dimulai oleh saudaranya, Kenan malah memalingkan mukanya ke arah luar jendela dengan tak minat.
Hari demi hari, Kenan semakin terlihat seperti Abi. Hampir semua saudara Abi mengatakannya, mengingat banyak sekali kesamaan keduanya.
Pendiam adalah kesamaan mereka yang paling kentara. Basa-basi bukan keahliannya, apalagi jika dihadapkan pada orang asing. Kenan lebih suka diajak untuk berbicara daripada mempelopori terjadinya obrolan.
Meskipun pendiam dibandingkan Kevan, tapi Kenan tipe pendengar yang baik. Ketika kita berucap, dia menyimak dengan fokus. Walaupun rupanya tak menunjukkan demikian.
Tak hanya itu, Kenan juga pengamat yang handal. Banyak hal bisa ia pelajari hanya dengan memperhatikan menggunakan kedua matanya.
Sampai di rumah, aku berniat langsung ke dapur untuk menyiapkan makan siang. Namun hal itu urung kulakukan karena pikiranku sekarang tertuju pada persoalan lain. Setelah menaruh Kaniya di kamar, aku beranjak untuk memanggil Kenan.
"Mas, sini deh ada yang mau Bunda tanya." Mendengar aku memanggil, Kenan segera mengikuti langkahku ke meja makan, tempat Kevan sedang asik melahap roti tawar dengan selai stroberi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Kacamata [END]
Chick-LitHidup di perantauan, jauh dari keluarga, jauh dari rumah, selalu merasa sendiri meskipun ada banyak orang di kota metropolitan yang hampir sama padatnya dengan ibu kota. Perjalanan hidup yang tak mudah, apalagi bagi wanita yang sudah berusia lebih d...