9: Berdiri di Tempat atau Tancap Gas?

2.6K 411 11
                                    

Orang tuanya Mas Abi itu udah lama cerai, Kak. Bu Yumna sudah nikah lagi setelah itu dan juga punya anak. Sekarang anaknya udah nikah. Kalau ayahnya Mas Abi gue juga kurang tau sih udah nikah lagi atau gak sebelum berpulang.  Nah setau gue, Mas Abi baru beberapa tahun ini tinggal sama Bu Yumna. Semenjak Bu Yumna sakit.

Perkataan Abi tempo hari sedikit mengganggu pikiranku. Dari sekian banyaknya orang yang pernah aku temui, baru kali ini aku mendengar dengan lantang perkataan seseorang yang mengatakan kalau ia tak ingin menikah. Hal itu juga yang membuatku memberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut pada Vika. Sepenggal cerita itu lah yang aku dapatkan.

Banyak alasan kenapa orang memilih untuk tidak menikah. Salah satunya adalah trauma karena pernikahan orang tuanya yang tidak berjalan dengan lancar. Menurut spekulasiku, hal itu juga yang membuat Abi tidak ingin menikah.

Aku memang tak bisa merubah keinginannya itu. Karena sejak awal dia lah yang mengerti bagaimana hidup di tengah keluarga yang kurang harmonis. Apalagi perceraian orang tuanya terjadi ketika usianya masih muda. Trauma itu tentu saja ada. Tapi sebagai seorang teman, aku hanya bisa berharap yang terbaik buatnya. Pikirannya berubah atau tidak, bergantung pada dirinya sendiri.

"Ada yang tertinggal?" Lamunanku terputus ketika mendengar suara Abi.

"Apa?"

"Ada yang ketinggalan?" Aku menggeleng cepat. Fokusku hanya sedikit terbagi karena teringat hal yang diceritakan Vika kemarin. Sehingga ketika berhadapan dengan Abi langsung, aku jadi merasa prihatin. Aku bahkan tak bisa membayangkan bagaimana jika aku berada di posisinya. "Kalau gak ada, mending cepat masuk. Nanti terlambat."

Aku menuruti perintah Abi dan membuka pintu penumpang. Hari ini mobil yang ia gunakan berbeda dengan waktu itu, saat ia dan ibunya tak sengaja bertemu denganku secara tidak sengaja. Mobil yang sekarang lebih mini karena hanya menyediakan dua baris kursi.

Kebaya brokat dengan batik adalah busana yang aku kenakan hari ini. Tak ada yang harus diubah karena kebaya ini langsung pas di tubuhku yang berukuran standar, seperti kebanyakan orang. Sementara Abi mengenakan baju batik lengan panjang yang coraknya serupa dengan rok yang aku kenakan.

Mobil itu pun bergerak menjauh dari kosan. Saat itulah aku tersadar bahwa ada beberapa pasang mata yang tengah mengintip lewat jendela kosan. Kontan saja hal itu mengundang kedutan di kedua sudut bibirku. Mereka sangat penasaran aku pergi dengan siapa hingga dandan seperti ini. Padahal aku sudah bercerita kalau aku menghadiri resepsi pernikahan. Tapi mereka tetap mengintip. Apakah mereka mengenali mobil Abi atau tidak, aku pun tak tau.

Gedung tempat diselenggarakannya resepsi pernikahan ternyata tak terlalu jauh dari kosanku. Jaraknya hanya sekitar lima belas menit jika jalanan lancar. Karena malam ini malam Minggu, jalanan sedikit lebih ramai daripada biasanya.

Baru memasuki gerbang, deretan karangan bunga sudah tampak oleh mataku memenuhi jalanan yang kami lalui hingga sampai di depan pintu masuk. Beberapa orang yang mengenakan seragam yang sama mengarahkan kami menuju ruangan yang disiapkan khusus untuk keluarga dan para sahabat.

Sudah barang tentu tak ada satu pun yang aku kenal di sini. Bahkan dari dandanan mereka saja, aku mulai merasa minder. Kelasku jauh di bawah mereka. Tak ada berlian mewah di jari-jariku, hanya ada cincin emas yang aku dapat dari hasil menabung.

"Rasanya ingin kabur." Gumamku dengan sangat pelan.

"Terlambat. Sudah tak bisa kabur lagi." Ya. Semuanya sudah terlambat. Aku sudah terlanjur mengiyakan. Itu artinya aku siap dengan segala resikonya.

"Ini yang namanya Naya, Bi?" Seorang perempuan yang mengenakan pakaian dengan corak yang sama denganku tiba-tiba menghampiri kami. Kalau aku perhatikan, sepertinya ia sedang hamil. Bajunya lumayan lebar hingga perutnya tak terlalu terlihat. Tak menggunakan high heels juga, berbeda denganku.

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang