54. Jangan Curang

2.4K 334 10
                                    

Aku kembali menyibak gorden untuk mengintip kondisi luar lewat jendela di ruanganku. Tak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Langit sangat gelap, bukan hanya karena akan malam, tapi juga akibat banyaknya awan hujan.

Meskipun ada jas hujan, aku agak khawatir dengan kondisi ini. Karena jalanan pasti licin. Walaupun kita sudah berhati-hati, bisa saja terkena musibah karena kelalaian orang lain.

Hari ini aku menjalani rutinitas yang sama seperti empat hari berturut-turut yang sudah aku lalui sebelumnya, yaitu bekerja. Ketika datang waktu para pekerja kantoran bubar, Abi akan datang ke kafe untuk menjemputku agar kami bisa pulang bersama. Untungnya lokasi kafe berada di tengah-tengah antara rumah dan tempat kerja Abi, sehingga ia tak perlu bolak-balik. Hanya sambil lalu saja.

Sempat terjadi perdebatan antara aku dan Abi beberapa hari lalu ketika mendapati sebuah motor diantarkan oleh dua orang utusan dealer yang ternyata diperuntukkan bagi diriku. Sudah pasti aku bingung karena aku tak memesannya. Namun ternyata Abi lah yang membelinya atas nama aku.

Gara-gara aku menolak untuk membawa mobil ke kafe, Abi membelikan motor sebagai gantinya. Niat awalku adalah karena ingin hemat, sebab bensin untuk mobil tidaklah murah. Ditambah lagi ukuran mobil yang terlalu besar hanya akan memenuhi parkiran kafe. Tapi tak bisa ku duga kalau Abi ternyata mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membeli motor secara tunai.

Padahal tak perlu sampai seperti ini. Banyak transportasi yang bisa aku gunakan. Naik ojek online pun tidak mahal. Jalan keluar gang untuk menumpang bus trans pun bisa. Sesekali aku juga berniat berangkat bareng Abi. Namun semua rencana itu dihancurkan oleh Abi.

"Aku pergi jam tujuh, Kanaya. Sementara kamu perginya menjelang kafe buka atau udah buka. Ngapain dari jam tujuh di kafe?" Alasan Abi membelikanku motor memang terdengar masuk akal. Tapi aku masih tak habis pikir kenapa bisa ia memikirkan hal itu? Sudah terbayang olehku banyaknya daging yang bisa aku beli dengan uang sebanyak itu.

"Kamu gak mau menerima apa yang aku kasih?" Urat lehernya bahkan sampai kelihatan ketika aku memberikan penolakan secara tidak langsung.

"Bukan gitu loh, Bi."

"Tapi kamu memang keliatan kayak gitu." Cepat sekali dia emosi. "Ini hadiah dari aku buat kamu. Kalau kamu gak mau menerima, aku bakal kecewa." Nada bicara yang ia turunkan membuat aku merasa tidak enak.

Bukankah ini terlalu berlebihan? Memang aku akan bekerja untuknya. Tapi bukan berarti ia harus bertindak sejauh ini. Apalagi sekarang ada tiga kendaraan di rumah, sedangkan kami hanya berdua. Mobil akan jadi penjaga rumah yang setia.

"Bagian mana yang berlebihan? Aku gak beliin jet pribadi atau helikopter, karena uangku gak ada sebanyak itu. Aku cuma beliin motor supaya kamu mudah kemana-mana."

Pada akhirnya akulah yang mengalah dan memutuskan untuk tak meladeni mulut Abi lagi. Sebab setiap kali merespon, ia selalu punya jawaban yang membuat bibirku tak bisa berkata-kata.

Daripada ditegur tetangga karena ribut malam-malam, aku memilih untuk menerima motor yang Abi belikan dan mulai menggunakannya untuk pergi bekerja. Harus ku akui kalau motor ini sangat nyaman digunakan dan dapat menghemat waktuku.

"Kita pulang pakai satu motor aja. Motor kamu tinggalkan dulu di sini." ucap Abi di telepon.

Berbeda dengan hari sebelumnya di mana langit sangat cerah, cuaca kali ini kurang bersahabat. Sudah lama hujan turun dengan sangat deras. Kafe bahkan sangat sepi padahal besok adalah weekend.

"Aku bisa kok bawa motor."

"Aku tau. Tapi tidak dalam kondisi seperti ini, Kanaya. Sekarang pakai jas hujan. Dalam waktu sepuluh menit aku bakal sampai di kafe."

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang