7: Bodyguard Kecil vs Ibu Shinchan

3.3K 399 12
                                    

Melelahkan sekali bekerja di tempat yang lingkungannya tidak mendukung seperti ini. Aku jadi orang yang paling banyak diam jika di kantor. Hanya saat-saat tertentu, terutama berhubungan dengan pekerjaan, barulah aku membuka mulutku.

Memang kami tak boleh banyak bicara saat bekerja, namun bukan berarti tak diizinkan sama sekali. Kadang ada obrolan dengan nada bisikan yang menurutku mampu melepas sedikit rasa penat. Tapi hal itu tak berlaku lagi buatku.

Sebulan terakhir adalah masa krisis di mana aku tidak merasa punya teman untuk bercakap di kantor ini, kecuali dalam ranah profesional. Tentu saja aku harus berbincang dengan rekan kerjaku untuk memastikan koordinasi berjalan dengan baik.

Bahkan saat tak sengaja bertemu di kamar mandi atau pantri, tak ada juga yang ingin berbincang denganku. Pernah coba memulai pembicaraan, namun aku sering diacuhkan begitu saja. Tak hanya oleh staf keuangan, bagian yang lain pun begitu. Palingan teman mengobrolku hanya Bu Nina dan Bu Yani, serta satpam kantor yaitu Pak Ibas. Itu pun tak bisa dilakukan saat jam kerja.

Suatu ketika, aku tak sengaja mendengar beberapa orang karyawan yang tengah berbincang di toilet. Mereka sepertinya tak tau kalau aku berada dalam bilik yang tertutup rapat, makanya aku jadi bisa sedikit menguping dan menjadi tau inti permasalahan ini.

Mina ternyata adalah keponakan dari Bu Wati. Informasi tersebut diketahui oleh mayoritas karyawan, tapi direktur utama tak tau. Karyawan sepakat untuk bungkam karena tak ingin ikut campur. Apalagi kantor ini melarang karyawan memiliki hubungan pribadi atau keluarga dengan rekan kerja.

Letak permasalahannya adalah masa kontrakku yang masih sisa beberapa bulan lagi, tapi aku sudah disodorkan penawaran baru sebagai pegawai tetap. Sempat heran kenapa aku yang dipilih, padahal Wina lebih lama bekerja dibanding aku. Sudah lebih dari dua tahun berlalu, statusnya sebagai pegawai kontrak diperpanjang, namun ia tak kunjung diangkat sebagai pegawai tetap. Sejak itulah aku mulai 'dikucilkan'.

Awalnya perilaku mereka tak terlalu kentara, namun semakin lama aku semakin merasa tidak nyaman. Meskipun suka dengan pekerjaanku, dapat gaji yang lumayan, namun jika suasana kantor seperti ini maka aku sudah pasti tak akan betah. Pernah terfikirkan untuk mencari pekerjaan baru, namun aku belum menemukan yang tepat. Aku bertekad untuk terus menguatkan diriku agar aku bisa bertahan di sini sembari terus menabung hingga masa kontrak selesai.

Hari ini untuk pertama kalinya aku mencoba makan di warung pecel lele yang berada tak jauh dari kantorku. Karena tadi pagi agak terburu-buru, aku tak sempat memasak. Efek begadang semalam, membuatku terlambat bangun pagi.

Nasi dengan ayam goreng adalah makanan yang aku pesan. Moodku langsung naik tatkala mengingat kalau aku akan makan besar siang ini. Makan ayam bagi para pekerja sepertiku adalah kenikmatan yang tak terhingga.

Karena aku shalat zuhur terlebih dahulu, maka dari itu aku bisa dilayani dengan cepat. Apalagi sudah banyak orang yang menerima pesanan mereka dan tak banyak lagi bangku yang kosong. Ini saja aku patut bersyukur karena masih tersedia dua kursi yang kosong. Aku bisa duduk di pinggir dan menyisakan ruang dengan pria yang duduk sebaris denganku.

Namun sepertinya aku kurang beruntung kali ini. Karena seorang pria datang dan duduk di bangku yang awalnya kosong. Untungnya dia paham dan sedikit menggeser posisi duduknya agar tak terlalu mepet padaku.

"Sendiri?" Aku menoleh tatkala mendengar suara yang familiar di telingaku akhir-akhir ini. Rambutnya sedikit basah dengan kemeja yang lengannya digulung hingga siku. Pemandangan begini seringkali membuatku lemah. Tapi aku tak boleh goyah.

"Gak, kan banyak orang ini." Jangan sampai aku terlena dengan dosa karena keasikan memandang nikmat Tuhan.

"Saya gak liat siapa-siapa tuh." Ia melipat kedua tangannya di atas meja dan mengarahkan pandangannya ke sekeliling.

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang