Ziarah ke makam papa dan mama Abi menjadi agenda setelah resepsi pernikahan dilaksanakan. Tak hanya aku dan Abi yang pergi, tapi banyak anggota keluarga Abi yang ikut, terutama dari keluarga papanya.
Hari ini untuk pertama kalinya aku memperkenalkan diri pada kedua orang mertuaku yang sudah lebih dulu berpulang. Aku tak hanya menjelaskan tentang siapa diriku, tapi juga menyebut posisiku sebagai menantu mereka. Meskipun kata-kata itu tak bisa aku ucapkan langsung lewat mulutku, tapi aku tau mereka curahan hatiku.
Sepulang ziarah, kami makan bersama di sebuah rumah makan yang pernah aku kunjungi bersama Abi beberapa hari yang lalu. Ya, rumah makan sunda yang ternyata milik dari Papi Abi. Pantas saja Abi bisa dengan mudah memesan tempat serta menu di sini, karena ia mengenal baik pemiliknya.
"Abi mana pernah begini." Umi menunjuk sebuah pose yang terdapat di album pernikahan aku dan Abi yang baru dibawakan Uni Zia kemarin.
Tampak di foto itu aku dan Abi tertawa lebar dengan posisi saling bertatapan. Sejujurnya aku sendiri tak terlalu ingat bagaimana bisa kami tertawa lebar dengan sangat alami. Sepertinya ada yang kami tertawakan saat itu. Tapi aku lupa detailnya.
"Kalau yang gini andalan Abi banget kan, Mi?" Bude Teti menunjuk salah satu foto yang minim ekspresi, tanpa senyum, dan meminta pendapat Umi. Tak butuh waktu lama bagi Umi merespon dengan anggukan setuju.
Potret satu itu sengaja dibuat versi wajah datar, yang sangat cocok untuk karakter Abi. Ia tak butuh effort lebih untuk melakukan hal itu. Ku tebak pasti ekspresi tersebut sangat ia sukai dibandingkan dengan lainnya.
Saat ini posisiku diapit oleh Umi dan Manda Misya. Para perempuan duduk mengelilingi salah satu meja sembari melihat isi album pernikahan yang ditaruh di tengah. Sementara lelaki duduk mengitari meja lain. Sengaja dibuat terpisah karena gender akan mempengaruhi kualitas obrolan.
"Ma, Mas mau juga punya istri." Celotehan seorang bocah berusia lima tahun yang berstatus sebagai ponakan Abi berhasil mengundang tawa dari beberapa orang. Namanya Chiko.
"Mas udah bisa cari uang memangnya?" tanya sang ibu, Mbak Sarah.
"Belum." jawabnya polos. "Tapi Om Abi juga belum bisa cari uang. Waktu itu aja Om Abi minta permen punya Mas."
Selain suka kopi, Abi juga sangat tergila-gila pada permen. Sembari bekerja, ia rutin mengisi mulutnya dengan permen. Tentunya yang rasa kopi. Permen kopi tersedia di toples ruang tamu, meja makan, dan ruang kerjanya. Daripada merokok, memang permen adalah pilihan bagus. Asal harus rajin sikat gigi. Jika tidak, tanggung sendiri akibatnya.
"Tapi Mbak pernah dibeliin kue sama Om Abi." Sang kakak, Cia, yang hanya dua tahun lebih tua ikut memberikan suara. "Permen Mas waktu itu aja diganti dua bungkus sama Om Abi. Padahal Mas cuma ngasih sebiji." tambah Cia kemudian, yang membuat posisi Abi semakin kokoh di puncak.
"Tante jadi istri Mas aja ya? Nanti Mas kasih permen." Aku mengulum senyum geli ketika mendengar tawaran yang diajukan Chiko padaku. Imbalannya hanya permen?
"Diliatin tuh sama Om Abi." bisik Mbak Sarah padanya, membuat mataku juga ikut melirik Abi yang tadinya sedang menyimak obrolan seputar bisnis.
Mayoritas keluarganya adalah pebisnis yang juga menjadi karyawan, seperti yang Abi lakukan. Di samping mempekerjakan orang lain, mereka juga punya penghasilan tetap sembari memperkaya orang lain.
Wajah Abi menatap Chiko dengan serius. Chiko yang sadar mendapat tatapan aneh, memberikan cengiran lebar sembari berharap sorot mata tajam itu akan mengendur. Ia sepertinya sudah paham kalau Abi memang tipe orang yang seperti apa. Makanya ia tak terlihat takut pada Abi meskipun masih sedikit gentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Kacamata [END]
ChickLitHidup di perantauan, jauh dari keluarga, jauh dari rumah, selalu merasa sendiri meskipun ada banyak orang di kota metropolitan yang hampir sama padatnya dengan ibu kota. Perjalanan hidup yang tak mudah, apalagi bagi wanita yang sudah berusia lebih d...