Sebulan lebih menghabiskan waktu di rumah rasanya sangat membosankan. Aku tak diizinkan pergi ke luar selain tujuan penting, salah satunya adalah screening pra nikah. Itu adalah hari di mana aku bertemu dengan Abi setelah ramadhan datang. Setelah itu kami tak pernah bertemu lagi karena ia kembali ke Pekanbaru untuk bekerja.
Hanya ketika lebaran datang, barulah aku boleh pergi. Itu pun karena ada acara kumpul keluarga di rumah Mak Tuo, kakak dari ayah, sekaligus ibunya Uni Zia. Selebihnya aku tetap di rumah, sebab ibu adalah anak pertama. Adik-adiknya akan berkunjung ke rumah kami.
Bahkan agenda liburan yang biasanya diadakan saat hari ketiga lebaran pun dihapuskan. Padahal beberapa tahun ke belakang acara ini rutin diadakan sebab kami tak memiliki waktu lain selain saat hari raya. Meskipun hanya acara jalan-jalan ke pantai, namun tetap kental akan kebersamaan. Tak ku sangka karena pernikahanku yang tinggal menghitung hari menjadi penyebabnya.
Niatnya baik sebenarnya, karena pengantin dianjurkan untuk tetap di rumah menjelang hari-H. Tapi untuk wanita yang gampang sekali merasa bosan seperti diriku, berada di rumah rasanya seperti penjara.
Sabar, sabar. Kata sabar selalu diucapkan Kak Kirana, sebab ia juga sudah mengalami apa yang aku alami sebelumnya. Tapi dia masih mending karena hanya libur seminggu sebelum menikah. Beda halnya dengan diriku.
Tak terhitung banyaknya film dan drama yang aku tonton. Sesekali menyibukkan diri untuk membungkus sovenir pernikahanku. Hanya dua hal itu yang rutin aku kerjakan untuk mengatasi kejenuhan yang seakan tak ada habisnya.
Namun dua hari yang lalu terasa surga bagiku. Sebab aku diperbolehkan keluar, meskipun masih ditemani oleh Kak Kirana. Untung saja aku teringat voucher salon dan spa gratis yang diberikan Gea ketika resepsi pernikahannya. Setelah aku telusuri, ternyata salon dan spa itu juga ada di Bukittinggi.
Cukup lama aku di sana, menikmati setiap pelayanan yang diberikan. Bahkan saking nyamannya, aku akhirnya juga memutuskan untuk potong rambut. Padahal tadinya sudah diwanti-wanti oleh ibu agar aku tak memotong rambutku. Tapi hari itu aku sungguh durhaka.
Sebenarnya perkara rambut panjang itu menjadi sebuah keharusan bagi almarhumah nenekku, ibu dari ayah. Nenek suka sekali dengan cucunya yang berambut panjang.
Namun ketika nenek meninggal, banyak dari sepupuku yang memutuskan untuk potong rambut karena mereka tidak betah. Kak Kirana juga ikut-ikutan memotong rambutnya sejak ia berkuliah di Padang, dengan alasan panas.
Bisa dibilang saat ini hanya aku cucu perempuan satu-satunya yang masih berambut panjang. Aku enggan memotongnya karena selalu teringat almarhumah nenekku.
Meskipun hari itu aku potong rambut, tapi tak terlalu panjang kok. Aku hanya ingin merapikan bagian bawah rambutku yang agak bercabang. Selain itu aku juga memilih untuk memakai poni seperti dulu.
Kecanduan drama Korea akibat racun dari Vika membuat aku ikut-ikutan mencoba poni yang menarik buatku. Bukan poni depan, tapi poni curtain bangs, poni belah tengah dengan bentuk menyerupai tirai terbuka. Aku pun baru tau namanya saat melihatnya di salon.
"Orang-orang udah pada keluar. Ayo masuk! Acara sudah mau dimulai." Ku remas tanganku sekali lagi seraya menghilangkan kegugupan tatkala mendengar suara Uni Zia.
Sudah sepuluh menit aku duduk di dalam mobil yang hidup tanpa bergerak demi AC tetap menyala, terparkir di halaman sebuah masjid yang tak jauh dari kediamanku. Hari ini datang juga.
Rasanya baru kemarin terjadi drama ketika aku hendak kembali ke Bukittinggi. Abi tiba-tiba berubah pikiran dan menawarkan untuk mengantarku. Padahal aku sudah berada di mobil travel dan bersiap untuk berangkat. Mesin mobil bahkan sudah hidup. Hanya tinggal menutup pintu dan mobil itu bisa berangkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Kacamata [END]
ChickLitHidup di perantauan, jauh dari keluarga, jauh dari rumah, selalu merasa sendiri meskipun ada banyak orang di kota metropolitan yang hampir sama padatnya dengan ibu kota. Perjalanan hidup yang tak mudah, apalagi bagi wanita yang sudah berusia lebih d...