Siang ini aku dikagetkan oleh kedatangan Damar yang tiba-tiba. Usai menjalani ibadah shalat zuhur, Yohan datang dan memberitahu kalau ada yang mencariku. Sempat heran awalnya, karena aku tak terpikirkan siapa gerangan yang datang.
Entah dari mana Damar dapat informasi kalau aku bekerja di sini. Yang pasti, Damar yang aku lihat hari ini sangat berbeda dengan sosok Damar di pertemuan terakhir kami. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi sehingga membuat ia tampak tidak baik-baik saja.
"Maaf saya gak sempat datang ke pernikahan kamu karena ada urusan di luar kota. Ami sama Ayah juga nitip permohonan maaf karena gak bisa hadir." jelas Damar.
Memangnya aku mengundang mereka? Seingatku tidak. Lagipula terlalu jauh untuk mengundang mereka datang ke Bukittinggi. Apa Abi ya? Eh tapi memangnya Abi kenal dengan keluarga Damar? Aku sama sekali tak tau.
"Ah iya gak papa." Hanya jawaban itu yang bisa aku berikan karena tak terlalu mengerti dengan keadaan saat ini.
"Ini hadiah pernikahan kamu." Damar menaruh paper bag yang berukuran cukup besar di atas meja. Aku jadi merasa tidak enak. Bukan karena hadiah yang diberikan padaku, melainkan pada orang yang memberikannya.
"Jangan. Gak usah pakai hadiah segala. Bawa lagi ya?" bujukku. Apa yang akan aku katakan pada Abi nanti? Aku tak yakin ia menerima hadiah ini kalau tau siapa yang memberikannya.
"Ini bukan dari saya kok. Tapi titipan dari Ami dan Ayah. Terima ya? Nanti saya dimarahin kalau bawa ini pulang lagi." Dari orang tuanya ya? Mau tak mau aku harus menerimanya.
"Sampaikan terima kasih saya buat orang tua kamu ya? Terima kasih untuk hadiahnya." Damar menganggukkan kepalaku sebagai respon.
Dugaanku adalah Damar akan pergi setelah menyampaikan titipan dari orang tuanya. Namun ternyata ia masih duduk di kursi yang berada do depanku dengan posisi kepala yang menunduk seraya memikirkan sesuatu. Ia terlihat ingin mengatakan apa yang ada di pikirannya, namun ia masih terlihat mempertimbangkannya.
"Orang tua kamu sehat kan?" tanyaku berbasa-basi.
"Alhamdulillah sehat." sahut Damar singkat.
Dilihat dari responnya, sudah jelas kalau yang dipikirkan Damar saat ini bukanlah tentang orang tuanya. Sebab ia bisa menjawab pertanyaanku secara langsung tanpa perlu pikir panjang. Apa ia tengah memikirkan keluarga kecilnya?
"Istri dan anak kamu juga sehat?" Damar terdiam lama sembari merenungkan jawaban dari pertanyaanku. Saking lamanya ia berpikir membuat dadaku tiba-tiba berdebar kencang. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi dengan istri Damar beserta anak mereka. Lewat mimik wajahnya aku bisa menangkap kalau ada yang tidak beres.
"Saya kehilangan mereka." Deg. Seperti ada sebongkah batu yang jatuh di dadaku. Meskipun kalimatnya terdengar sederhana, tapi dilihat dari tatapan Damar sepertinya ia sangat terpukul. Ada luka yang baru saja aku buka dengan lebar. Seharusnya aku tak bertanya apapun tadi. "Saya menyia-nyiakan mereka dulu. Sekarang mereka yang meninggalkan saya." Ia tertawa getir di ujung kalimatnya.
"Ami bilang saya dapat karma. Saya pun setuju akan hal itu. Tuhan sepertinya tidak rela kalau istri dan anak saya tinggal bersama saya. Karena itu Tuhan mengambil mereka dari saya." lanjut Damar kemudian.
Terlihat dengan jelas wajah menyesal itu. Nada bicaranya yang terdengar lirih mengisyaratkan rasa bersalah yang teramat dalam. Damar yang aku lihat hari ini tampak sangat putus asa. Ia seperti kehilangan nyawanya.
"Saya turut berduka cita ya." Aku memang tak mengenal mereka secara dekat, tapi aku turut merasa kehilangan. Padahal seharusnya saat ini keluarga kecil mereka sedang berbahagia. Sayangnya Tuhan berkehendak lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Kacamata [END]
Chick-LitHidup di perantauan, jauh dari keluarga, jauh dari rumah, selalu merasa sendiri meskipun ada banyak orang di kota metropolitan yang hampir sama padatnya dengan ibu kota. Perjalanan hidup yang tak mudah, apalagi bagi wanita yang sudah berusia lebih d...