"Kak, ikut gak?" Helaan nafas panjang keluar dari mulutku, seiring dengan kepalaku yang berputar menghadap Vika yang sudah siap dengan pakaian andalan yang ia gunakan saat ingin berperang di hari Minggu. Apalagi kalau bukan pakaian olahraga. Dia bahkan rela mencari baju olahraga yang warnanya merah menyala, persis dengan yang digunakan oleh kelompok ibu-ibu yang suka senam di lapangan.
"Enggak Vika. Ini udah kedua kalinya lo nanya. Sekali lagi pertanyaan itu keluar dari mulut lo, gue kasih piring cantik ya!" Sahutku galak. Vika tergelak dan langsung mengambil langkah seribu. Tawanya masih terdengar memenuhi lorong kosan. Entah siapa lagi yang akan ia ganggu hari ini.
Aku masih kesal karena ulah Abi beberapa waktu yang lalu. Kegeerannya membuatku naik darah. Tentu saja aku menyahuti perkataannya dengan lantang, karena sejak awal aku tak penasaran padanya. Tapi ia hanya tersenyum lalu pergi. Gila kan ya?
Vika yang salah karena ia lebih dulu menceritakan tanpa aku tanya sedikitpun. Mulutnya memang senang sekali menyeletuk tanpa berpikir panjang. Akibatnya jadi begini.
Seminggu ini aku betah dengan ekspresi kesal. Apalagi jika bertemu dengan pria itu di bus trans. Ia memang tak mengajakku ribut, tapi senyumnya itu loh yang menyebalkan. Setiap kali tatapanku tak sengaja bertemu dengannya, ia selalu menarik sudut bibirnya dengan angkuh. Bawaannya pengen lepas sepatu lalu lempar ke kepalanya. Tapi tak berani.
Vika justru heran kenapa tiba-tiba pria itu berubah. Vika mengaku kalau ia tak pernah mendengar Abi berucap dengan kepedean tingkat dewa seperti tempo hari. Atau karena menjelang magrib ya? Kan banyak jin yang lagi nyari mangsa.
"Kak..."
"Apalagi Vika? Beneran gue kasih piring cantik nih!" Ancamku. Dia tak tau apa ya kalau dari subuh aku sudah sibuk di dapur? Ini saja baru sempat rebahan sembari mengeringkan rambutku yang masih basah karena aku belum lama ini selesai mandi. Sungguh Minggu yang melelahkan.
"Gak kangen ketemu Mas Abi?" Kontan saja bantal kecil di sampingku langsung aku lemparkan padanya. Pagi-pagi sudah ngajak ribut saja dia. Membahas pria itu pula. Aku sedang tak ingin mendengar namanya disebut.
Weekend adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh pekerja sepertiku. Kapan lagi bisa santai-santai? Kemarin aku sudah sibuk dengan cucianku yang menumpuk. Untungnya cepat kering makanya aku jadi bisa sekalian menyetrika. Sekarang hari Minggu waktunya rebahan sepuasnya hingga sore menjelang.
Hari Minggu biasanya kos ini sepi karena banyak sekali yang sedang keluyuran. Hanya aku yang sering menghuni kos di saat hari libur seperti sekarang. Mumpung ada libur makanya harus dimanfaatkan.
Detik demi detik pun berlalu. Jarum jam terus bergerak tanpa henti seiring dengan lantunan nada yang menemani hariku berlalu. Sungguh nikmat sekali bisa mengistirahatkan tubuh sejenak dan merilekskan pikiran. Meskipun sebentar, hanya sekejap, namun rasanya sungguh berarti.
"Kak, temen gue wisuda minggu depan, lagi nyari kang make-up." Badanku langsung tegak dan kepalaku berputar menghadap Fasya yang sedang berdiri di ambang pintu.
Meskipun musik masih berkumandang, namun telingaku tetap terbuka lebar untuk mendengarkan apa yang dikatakan Fasya barusan. Dia seangkatan dengan Vika, namun sifat mereka beda jauh. Fasya ini bisa diajak kerjasama. Berbeda dengan Vika yang senang mencari keuntungan untuk dirinya sendiri.
"Sabtu bisa kan, Kak?" Aku mengangguk antusias. Sabtu depan sudah pasti aku libur. Hari liburku tak akan terbuang percuma karena ada pundi-pundi uang yang akan masuk ke kantong.
"Thank you Fasya." Aku memonyongkan bibir seraya merentangkan kedua tanganku seakan ingin memeluknya. Ia terkikik pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dramatis. Moodku langsung naik karena mencium bau-bau uang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Kacamata [END]
Chick-LitHidup di perantauan, jauh dari keluarga, jauh dari rumah, selalu merasa sendiri meskipun ada banyak orang di kota metropolitan yang hampir sama padatnya dengan ibu kota. Perjalanan hidup yang tak mudah, apalagi bagi wanita yang sudah berusia lebih d...