29. Peduli atau Kasihan?

2.2K 385 20
                                    

Hari ini Abi mengajakku untuk mengunjungi Tia yang baru lahiran dua hari yang lalu. Baru kemarin Abi memberitahuku tentang berita bahagia itu, yaitu ketika kami sedang dalam perjalanan kembali ke Pekanbaru.

Kata Abi, Tia melahirkan secara normal dibantu oleh seorang bidan di sebuah klinik. Sekarang Tia masih berada di sana sembari menunggu pemulihan.

Baru masuk ke dalam klinik, aku bisa melihat betapa mewahnya tempat ini. Tak hanya diperuntukkan sebagai tempat berobat, tapi ada banyak fasilitas yang ditawarkan. Mulai dari tempat yoga ibu hamil, spa bayi dan ibu hamil, sampai fisioterapi ibu hamil dan anak.

Yang membuat klinik ini istimewa adalah karena buka 24 jam. Apalagi terdapat bidan profesional yang sudah memiliki pengalaman bertahun-tahun membantu proses lahiran. Aku pun jadi mengerti kenapa tempat ini ramai oleh pengunjung. Harganya sudah pasti juga lumayan, sebanding dengan keunggulan yang ditawarkan.

Di kamar tempat Tia beristirahat, hanya ada Tia dan Reza. Jangan lupakan putri kecil mereka yang sedang terlelap.

Aku tak menuju ke arah Tia, malah mendekat ke arah box bayi dan memperhatikan putri kecil mereka. Badannya lumayan gempal untuk ukuran bayi yang baru lahir. Pantas saja perut Tia nampak sangat besar, padahal ini kehamilan pertamanya.

"Cantik banget." pujiku dengan mata berbinar. Perkataan barusan bukan hanya sekadar basa-basi, aku jujur saat mengucapkannya. Karena anak Tia sangat cantik. Terutama di bagian hidungnya yang tampak mancung.

"Anak gue duluan yang disamperin. Padahal mamanya yang kesakitan." dumal Tia.

Shena, nama yang diberikan oleh Tia dan Reza untuk anak pertama mereka. Sama seperti rupanya, nama itu juga tak kalah cantik. Secara keseluruhan, wajah Tia yang malah tampak mendominasi, bukan Reza.

Ku hentikan aktivitasku memandangi Shena lalu berpindah menuju Tia dan memeluknya. Setiap kelahiran di muka bumi membuatku ikut bahagia. Karena lahirnya seorang anak akan membuka kehidupan baru bagi orang tuanya.

"Gue iri." curhatku. Tia terkekeh lalu menepuk-nepuk punggungku. Ia tampak sudah lebih baik dan bisa duduk. "Gue bawa anak lo pulang boleh gak? Pinjem deh." tawarku.

"Pinjem? Enak aja. Dikira barang apa. Kalau mau, nikah. Terus minta sama suami lo. Ini gue udah lama nunggunya tau." Aku mengerucutkan bibir sebal. Padahal aku sangat ingin merawat bayi lagi.

Dulu ketika aku masih rutin bekerja dengan Uni Zia, dua anak terdahulunya ia rawat dengan bantuanku, hingga membuat keduanya lengket denganku. Alasan itulah yang menjadikan aku terbiasa dengan bayi. 

Karena belum puas memandangi Shena, aku kembali mendekat ke box bayi. Abi yang semula mengobrol singkat dengan Reza juga mulai bangkit dari posisinya dan berdiri di sisi lain box bayi. Shena masih tak terganggu tidurnya meskipun ruangan ini mulai diisi oleh orang lain selain orang tuanya.

Satu hal yang tak kalah menarik dari Shena adalah rambut hitam dan tebal. Ia baru beberapa hari lahir namun sudah memiliki rambut seperti seorang balita.

Pintu terbuka membuat kami serentak menoleh. Seorang ibu berusia sekitar 50 tahunan masuk ke dalam ruangan dengan memakai pakaian putih. Apa ini bidannya?

Tak hanya bidan, di klinik ini juga terdapat dokter praktek, yaitu dokter spesialis anak. Klinik yang terdiri dari tiga lantai yang bentuknya berbeda dengan rumah sakit tentu saja sangat nyaman. Karena hawa rumah sakitnya tak terlalu terasa. Malah terasa seperti rumah kebanyakan, bukan rumah sakit.

"Udah lama Bi?" Mataku tertuju pada Abi yang mendekat untuk menyalami bidan itu. Ia mengenali bidannya? Kenapa bisa?

"Belum lama, Manda." sahut Abi. Sekarang bidan itu beralih menatapku karena sepertinya hanya aku yang tidak ia kenal.

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang