26. Tanya Jawab Perihal Pernikahan

2.3K 402 56
                                    

"Kamu yakin sama dia? Iya sih kerjanya bagus, di bank. Tapi kamu tau orang tuanya kan Yo? Bapaknya cuma petani. Ibunya jualan di pasar, tapi sekarang enggak lagi. Jangan-jangan dia mau karena mau morotin kamu." Aku bahkan belum mengatakan kalau aku menerima perjodohan itu, tapi Tante Ria mengatakan kalau aku mau dengan anaknya tanpa bertanya lebih dulu padaku.

Tyo adalah seorang aparatur pemerintah lulusan sebuah sekolah kedinasan. Aku mengenalnya dari Tante Yola. Ia mengatakan kalau ada seseorang yang sedang mencari calon istri. Makanya ia memperkenalkan kami.

Pertemuan pertama diatur oleh Tante Yola dan Tante Ria, sebagai ajang perkenalan. Tadinya aku enggan ikut acara semacam ini, tapi ibu meyakinkan diriku agar pergi dengan menganggapnya sebagai ajang silaturahmi. Namun tak ku sangka Tante Ria malah berpikir lebih jauh sebelum mendengar jawaban dariku terlebih dahulu.

Pertemuan kedua terjadi saat aku tak sengaja berada di sekitar perumahan tempat mereka tinggal. Aku tak tau mereka tinggal di sekitar sini. Semuanya terjadi begitu mendadak tanpa bisa aku prediksi sebelumnya.

Tyo mengajakku ke rumahnya. Saat itu, di rumah hanya ada ibu dan adiknya. Namun ada yang berbeda di hari itu, karena aku sudah mendapatkan firasat hanya dengan tatapan Tante Ria yang tampak berbeda dibandingkan pertama kali kami bertemu.

Aku izin ke toilet, meskipun sebenarnya aku tak benar-benar pergi ke sana. Yang aku lakukan hanyalah berdiri, menyimak pembicaraan di belakangku. Perkataan menyakitkan itulah yang aku dengar.

"Tapi Naya cantik tau, Ma." Cantik. Hanya itulah yang bisa Tyo lihat dariku. Bukannya bangga, aku justru merasa malu. Tak adakah yang lebih menarik dari diriku selain wajahku?

"Iya dia memang cantik. Tapi coba pikir deh Yo, kamu PNS sementara dia cuma pegawai kontrak. Jangan-jangan nanti kamu yang kesusahan cari uang sendiri." Telingaku sangat panas mendengarnya, namun aku tetap menguatkan hatiku agar bertahan.

"Apalagi kalau menikah kan kamu yang tinggal di rumah mereka. Orang tuanya pasti cuma mau numpang hidup sama kamu karena kamu PNS. Mereka matre. Orang susah memang begitu, Yo." Orang susah. Itulah pendapat mereka tentang orang tuaku.

"Yang penting Naya cantik, Ma. Perihal orang tuanya urusan nanti." Cantik, cantik, dan cantik. Aku sangat muak mendengarnya hingga akhirnya memberanikan diri untuk keluar dan berhadapan dengan mereka.

"Iya, Tante. Saya memang orang susah. Orang tua saya memang orang susah. Tapi satu hal yang patut saya tekankan sama Tante, saya tidak diajarkan oleh orang tua saya untuk bersandar dan numpang hidup pada orang lain." Meskipun berucap dengan lancar, tapi aku berusaha untuk menelan emosiku agar tidak meledak.

"Cantik? Iya saya memang cantik. Asal Tante tau ya, cantiknya saya adalah karena orang tua saya. Saya cantik karena mereka menjaga saya dengan sangat baik. Ayah saya yang hanya seorang petani, ibu saya pedagang yang sekarang jadi pengangguran, karena kedua orang itulah yang membuat saya cantik seperti sekarang.

Lalu kenapa Tante bisa seenaknya menghina orang tua saya? Sekedar info saja Tante, bukan anak Tante yang membuat saya cantik. Lalu buat apa saya menghabiskan hidup saya dengan orang yang tidak menjadikan saya cantik namun hanya memuja kecantikan saya?" Ya, beginilah Kanaya yang sebenarnya, gadis yang tangguh dan pemberani. Tak peduli siapapun lawannya.

"PNS? Hanya itu yang Tante banggakan dari anak Tante? Iya kan? Apa Tante tau kriteria suami idaman saya bukanlah dari pekerjaannya, jabatannya, bukan pula gajinya. Agama, itu yang utama Tante. Tanpa saya beri tahu pun pasti Tante sadar kalau cara pandang anak Tante terhadap wanita hanya dari rupanya bukan?

Di Balik Kacamata [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang