Setelah acara silaturahmi di rumah, aku kembali ke Pekanbaru sebelum masa cutiku yang diberikan oleh Abi benar-benar habis. Sebenarnya dengan sedikit terpaksa, karena Abi mengancam. Entah dari siapa ia belajar jurus yang satu itu hingga aku tak bisa berkutik karenanya.
Kalau aku tidak balik ke Pekanbaru secepatnya, dia akan menceritakan pada Azwan alasan aku pulang ke Bukittinggi waktu itu, yaitu karena cemburu. Cemburu? Sungguh tragis bukan? Padahal aku tidak cemburu. Hanya sakit hati saja.
Tanpa perlu pikir panjang, aku langsung setuju untuk kembali ke Pekanbaru. Aku sadar betapa menyeramkannya mulut Azwan, karena itu aku harus menuruti perintah Abi agar ia tak mengatakan apapun pada adikku itu. Jika Azwan tau perihal alasan kepulanganku tempo hari, ia tak akan berhenti untuk menertawaiku. Yang lebih buruk, bisa saja ia menceritakan hal itu pada orang lain.
Ya, itulah resiko punya dua kakak perempuan. Karena mulut seorang perempuan kadang terbawa-bawa akibat terlalu sering bergaul
Pertemuan saat itu yang awalnya direncanakan sebagai ajang silaturahmi tiba-tiba berubah jalur menjadi hari penetapan tanggal. Tradisi lamaran yang dilakukan banyak orang bukanlah tradisi Minang. Karena itu sejak awal tak ada yang membahas perihal lamaran.
Ketika para orang tua bertemu, selalu saja ada hal tak terduga yang terjadi. Apalagi jika kedua pihak sama-sama setuju dengan hubungan kami. Menyelenggarakan pernikahan dengan segera adalah rencana mereka.
Hal baik harus disegerakan, tak boleh ditunda. Kata-kata itu awalnya menjadi momok yang menakutkan. 'Bukankah terlalu cepat?' Kepalaku selalu mengulang hal yang sama setiap saat.
Namun aku kembali teringat pada kata-kata Abi yang mengatakan kalau ia berniat menikahiku. Karena itu aku tak lagi berdebat dengan kepalaku sendiri sebab melihat betapa santainya Abi ketika para orang tua mengusulkan hal tersebut.
Abi langsung menyetujui saran dari orang tua, hingga akhirnya aku juga memberikan persetujuan. Untuk itu ditetapkanlah kami akan menikah setelah lebaran, tepat di hari Jum'at. Perkataan Uni Zia sepertinya benar-benar akan jadi kenyataan.
Jika dihitung, jarak antara silaturahmi dua keluarga dengan tanggal pernikahan aku dan Abi sekitar dua setengah bulan. Waktunya memang cukup lama sebab pengurusan surat juga bukanlah hal yang sederhana. Apalagi karena jarak.
Abi yang lebih dulu mengurus surat. Setelah itu ia akan mengantarnya ke Bukittinggi. Aku saja sudah paham betapa ribetnya mengurus hal ini, meskipun bukan aku yang melakukannya.
Beberapa hari yang lalu aku dan Abi sempat pergi ke studio untuk foto latar belakang biru. Kami berfoto secara terpisah. Namun beberapa adegan non formal berhasil dibuat dengan gaya yang serupa.
Tak pernah terbayang olehku sebelumnya, kalau aku akan sampai pada tahap ini bersama Abi. Semuanya terasa mimpi. Tapi tampak nyata juga.
Cincin pernikahan juga sudah kami pesan. Untungnya selera Abi tidak ribet. Ia lebih menyerahkan keputusan padaku dengan tetap memberikan saran yang menurutku sangat membantu.
"Nanti sore jangan lupa, abis ashar saya jemput." Abi yang baru datang menaruh sebuah minuman di atas mejaku lalu kembali keluar.
Hari ini ia bertugas sebagai barista, seperti biasa. Weekend adalah saat yang tepat untuk Abi bertugas, sebab sejak pagi sudah banyak pelanggan. Tapi sebelum itu, Abi akan memotret menu baru yang akan disajikan di kafe ini.
Aku tak lagi kaget ketika mendapati peran besar Abi di kafe ini sebab ia sudah menceritakan semuanya. Tak hanya bertugas meracik kopi, Abi juga berperan dalam kemajuan kafe ini karena keahliannya dalam hal memotret. Media sosial yang dikhususkan untuk kafe ini ia pegang sendiri. Semua foto makanan dan minuman, ia yang memotretnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Kacamata [END]
Chick-LitHidup di perantauan, jauh dari keluarga, jauh dari rumah, selalu merasa sendiri meskipun ada banyak orang di kota metropolitan yang hampir sama padatnya dengan ibu kota. Perjalanan hidup yang tak mudah, apalagi bagi wanita yang sudah berusia lebih d...