15 : Konversasi di Bibir Pantai

1.4K 232 43
                                    

"Lulusan SMA?! Serius?!"

"Iya, heheh."

"Wah, mantul banget Raka!"

"Mantul...?"

Bagas adalah senior Raka di Q'time Café, tempat pemuda itu memulai pekerjaan paruh waktu. Rambutnya diwarnai coklat keemasan dan kulitnya sedikit kecoklatan.

"Maksudku, setelah tau kalau kamu lulusan SMA, aku jadi bersemangat," Bagas mengulas senyuman lebar. "Akhirnya ada yang muda di sini. Aku udah bosan bergaul sama pegawai tua melulu."

"Ah begitu... saya mengerti."

Suasana ceria yang dibawa Bagas secara alami, dan sorot mata bulatnya yang selalu nampak bersinar, memberikan kesan seseorang dengan kepribadian cerdas. Itu hebat, Raka pikir. Awalnya Raka merasa kewalahan mengimbangi Bagas yang banyak bicara. Tetapi ketika Bagas dengan hati-hati mengajarkan Raka melakukan pekerjaan, suasananya berangsur santai.

"Elah, kenapa sopan banget? Kita kan seumuran! Kita bisa jadi teman," Bagas mengangkat ibu jarinya sambil mengerling.

Raka tersenyum canggung, "Tapi kamu seniorku di tempat kerja, Mas Bagas."

"Jangan kaku begitu. Panggil aja aku Bagas, ga perlu pakai 'mas'."

"Ah... oke Bagas..."

"Bagus! Terus, kalau ada yang bayar pakai kartu kredit tinggal tekan yang ini, dan masukkan kartunya," Bagas melanjutkan.

Raka mengangguk, "Aku mengerti."

"Hari ini kamu belajar jaga kasir dulu, besok aku ajarkan cara membuat Latte Art."

Bagas adalah orang yang fashionable di mata Raka, dilihat dari telinga kanan pemuda itu yang ditindik dan gaya pakaian yang nyentrik. Saat Raka mengaku bahwa dia berumur 18 tahun, Bagas berkata jika umur mereka sama. Bagas sering bertanya-tanya tentang Raka ketika mengajarkan dasar-dasar pekerjaan. Dan itu membuat Raka merasa sedikit tidak nyaman.

"Kenapa kamu ga lanjut kuliah? Apa ada sesuatu yang kepingin kamu lakukan atau kamu punya tujuan lain?"

"Ah, ga, um... aku cuma ga kepingin aja."

Padahal, itu adalah kebohongan bahwa Raka lulusan sekolah menengah atas. Jika dia mengatakan semuanya dengan jujur, itu akan menjadi masalah. Jadi, meskipun dia sebenarnya tidak begitu kepo tentang Bagas, dia mencoba untuk langsung balas bertanya setelah seniornya itu mengajukan pertanyaan. Itu yang mampu dia lakukan untuk mengalihkan topik pembicaraan.

Pada titik ini, membuat Bagas percaya bahwa Raka lulusan sekolah menengah atas bukanlah pilihan berisiko tinggi. Bagas masuk ke dalam permainan Raka tanpa rasa curiga, itu bagus. Raka terpaksa berbohong, karena dia pikir Bagas akan semakin banyak bertanya jika dia mengatakan yang sebenarnya.

"Kerja bagus hari ini."

Bagas memasukkan apron kerjanya ke dalam loker, pekerjaan hari ini selesai. Di belakang area counter ada sebuah ruangan yang mereka sebut rest room. Karena selain berfungsi sebagai tempat loker pegawai, ruangan ini juga berguna sebagai tempat mereka istirahat di waktu istirahat kerja.

Raka tersenyum sambil menyimpan apronnya ke dalam loker, "Terimakasih kerja kerasnya hari ini."

"Jadi, kamu tinggal di mana, Raka?"

"Kalau berjalan dari sini, kurang lebih lima menit," Raka menjawab pertanyaan Bagas.

"Wah, rumahku juga lima menitan dari sini. Mungkin rumah kita berdekatan."

"Iyakah?"

"Kalau begitu, aku mau mampir ke rumahmu."

"Gimana, ya?" Raka menyentuh dagu dan membuat ekspresi berpikir. "Aku ga tau teman sekamarku mengijinkannya atau ga."

PULANG [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang