36 : Hari-Hari Terakhir

948 175 2
                                    

"Aku pulang."

"Selamat datang di rumah, Mas Jaka."

Jaka melepasnya sepatu dan menuju ke ruang tidur. Di sana terlihat Raka yang semula sedang tengkurap membaca buku novel lantas bangkit duduk di kasur saat menyadari kepulangannya. Dia sempat mengabari Raka bahwa dia pergi makan malam di luar dengan Edwin. Karena itu, Raka tidak bertanya mengapa dia pulang terlambat. Tetapi saat dia melepaskan jas kerjanya, Raka tiba-tiba bertanya sesuatu sambil menatapnya.

"Mas Edwin bilang apa?"

Jaka sembari berganti pakaian di depan lemari menjawab, "Dia meminta maaf karena berkata kasar kemarin, sampai menundukkan kepala loh. Dia juga memberitahuku... beberapa hal."

Mendengar itu, Raka menatap ke lantai dengan cemas. Raka terlihat sangat imut sampai Jaka tidak bisa menahan tawa.

"Dia ga mengatakan hal buruk tentangmu. Tenang aja," Jaka terkekeh lalu duduk di tepi ranjang menatap Raka.

"Ah... ya, Mas Edwin biasanya emang ga akan melakukan hal seperti itu."

"Aku rasa dia emang sangat menyayangimu."

Raka menjawab dengan wajah sedikit memerah sambil mengangguk, "Iya, aku merasakan kasih sayangnya."

"Aku mengerti udah merepotkan Mas Edwin dan Mas Jaka, tapi aku masih takut untuk pulang," Raka kembali berbicara, tatapannya masih mengarah ke lantai.

Jaka bergumam, "Aku mengerti..."

"Tapi, aku juga mengerti kalau harus pulang. Aku harus membulatkan tekad."

Jaka membuka mulutnya terkejut. Dia pikir Raka mengungkapkan perasaan dengan lebih jujur daripada saat pemuda itu pertama kali datang ke kosnya. Tentu saja itu perubahan yang lebih baik, dan itu membuatnya merasa bahagia.

Jaka merasa Raka sudah banyak berubah sekarang, seolah menjadi lebih dewasa. Raka akhirnya akan mampu memutuskan masa depan dengan dirinya sendiri. Dia pikir jika Raka bersamanya selama ini telah mengubah sesuatu di dalam diri pemuda itu, lalu berhasil memiliki kehidupan yang lebih baik, maka dia merasa sangat lega. Itu maknanya pertemuan mereka berarti.

Apa yang akan terjadi dalam beberapa hari terakhir sebelum Raka pulang? Saat Jaka memikirkan hal itu, dia menatap Raka lalu tiba-tiba pemuda itu mengangkat wajah sehingga tatapan mereka bertemu.

"Hingga saat itu, aku masih boleh menikmati untuk tinggal di sini, kan?"

Jaka merasakan kesakitan saat Raka berkata 'hingga saat itu', dia mengulum senyuman. Meskipun dia sudah tahu sejak lama bahwa itu pasti akan terjadi. Namun, rasanya masih menyakitkan karena batas waktu 'hidup bersama' ini telah tiba.

"Tentu."

Jaka tersenyum lebar seakan dia tegar.

"Mas Jaka, kalau ada makanan yang ingin kamu makan, bilang aja. Aku akan memasak makanan enak untukmu!"

"Ah... ya, oke..."

Melihat senyum Raka yang begitu ceria, Jaka mengangguk agar tidak menimbulkan suasana yang sedih. "Aku akan segera bilang padamu kalau ada makanan yang ingin kumakan," ujarnya melanjutkan.

"Siap kapten!"

Raka mengangguk penuh semangat lalu bangkit untuk mematikan saklar lampu utama, sementara Jaka menghidupkan lampu tidur di atas nakas. Karena sekarang malam sudah semakin larut, waktunya untuk mereka tidur. Jaka mencuri pandang ke arah Raka yang berbaring membelakanginya, dia diliputi oleh semacam perasaan sedih selama menatap punggung pemuda itu.

•••





Jaka berusaha memanfaatkan dengan baik hari-hari terakhir bersama Raka. Dia akan menyelesaikan pekerjaan pada jam normal, pulang tepat waktu, dan mengobrol dengan Raka selama mungkin saat di kos. Raka juga berusaha lebih keras dari biasanya saat menyiapkan makanan. Jadi setiap kali Raka memasak, makanannya enak. Seperti malam ini, mereka sedang makan saat Raka tiba-tiba mengulurkan sebuah buku pada Jaka.

"Ini."

"Eh, apa ini?"

Jaka menerima buku dari tangan Raka, dia membuka buku tersebut dan membaca isinya. Sejenak, dia merasa sangat kagum.

"Biar kamu ga perlu beli makanan di luar, baca itu, dan cobalah masak sekali-kali."

Jaka membuka setiap lembar dari buku di tangannya sambil mendengarkan Raka. Itu adalah buku resep yang ditulis tangan oleh Raka sendiri dan dipersembahkan untuk Jaka. Bahkan Raka membubuhkan gambar-gambar makanan di setiap resep. Buku itu seperti buku resep yang benar-benar ditulis oleh seorang koki, itu luar biasa, Jaka pikir.

"Keren banget..."

"Aku mengurutkan sesuai makanan favoritmu. Silahkan digunakan sebaik mungkin," Raka tersenyum manis.

Jaka menganggukkan kepala dan tersenyum, "Ya, terimakasih banyak."

"Kembali kasih."

Jaka menatap buku resep di tangannya selama beberapa saat. Sebenarnya, dia ingin menolak fakta bahwa Raka akan pergi. Kenyataannya, tinggal beberapa hari lagi Raka akan pulang ke Malang. Sejak dia makan malam bersama Edwin, dia menghindari bertanya pada Raka; Apakah kamu sudah siap?

Selaras, Raka juga berusaha untuk tidak menyinggung tentang itu. Selama hari-hari terakhir mereka bersama, Jaka merasa entah bagaimana dia dan Raka seakan meluangkan waktu bersama lebih intens daripada sebelumnya. Dia bertanya-tanya apa yang ada di pikiran Raka saat ini.

Lalu, semakin mendekati hari di mana Raka akan pulang, Jaka mulai kehilangan konsentransi di tempat kerja. Sehingga dia beberapa kali melewatkan istirahat makan siang. Kurangnya konsentrasi membuat dia butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikan pekerjaan. Orang pertama yang menyadari gelagat janggal Jaka adalah sahabatnya sendiri, Naresh.

"Gimana? Sesekali makan di luar bareng, yuk."

"Oh, boleh tuh! Boros dikit engga masalah deh."

Mendengar obrolan rekan kerja lainnya, Naresh melirik ke arah jam dan saat itu jam telah menunjukkan waktunya makan siang. Dia lantas menoleh pada Jaka.

"Ayo makan siang, Jak."

"Ah, um..."

Jaka menoleh sekilas lalu berdeham agak lama. Bukannya beranjak dari kursi, dia justru kembali menatap ke arah layar komputernya. Dia perlahan menjawab.

"Maaf, pekerjaanku yang ini masih setengah jadi. Kamu duluan aja, Na."

"Oke..."

Naresh menghela napas berat mendengar jawaban sahabatnya. Dia bangkit dari kursinya dengan perasaan tidak nyaman. Setelah dua langkah pergi, dia mendadak berhenti lalu menoleh ke belakang dan menegur Jaka dengan nada serius.

"Sebaiknya kamu istirahat sebentar, Jak."

"Habis ini aku akan merokok sebentar," jawab Jaka tanpa menatap Naresh.

"Bukan itu yang aku maksud."

Naresh bergumam kesal dengan lirih. Lagi-lagi, dia menghela napas berat. Setelah itu, dia pergi meninggalkan ruang kerja. Dia pikir sikap Jaka seperti itu wajar karena memikirkan Raka yang akan pergi. Bagaimana pun, hidup bersama yang mereka jalani tidak lah singkat. Dia jadi merasa prihatin dengan mereka berdua karena harus berpisah.

Hari-hari terakhir berlalu terlalu cepat...

PULANG [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang