29 : Kejujuran atau Kebenaran?

941 193 1
                                    

Jalani hidup yang jujur.

Jaka sering mendengar kalimat itu dari ayahnya. Dia dibesarkan dengan didikan seperti itu sejak dia masih kecil. Ayahnya benar-benar orang yang tidak mudah tersulut emosinya. Dan juga hanya dengan melihat pribadinya orang lain akan tahu bahwa ayahnya adalah orang yang baik.

Ayahnya selalu bersungguh-sungguh dalam belajar dari sejak masih SD sampai SMA. Sehingga dia berhasil masuk ke universitas terbaik, lalu menjadi pegawai negeri setelah lulus. Ketika Jaka masih kecil, dia melihat bagaimana ayahnya selalu memberi dukungan pada dirinya dan ibunya bahkan saat disibukkan dengan pekerjaannya sebagai pegawai negeri. Jika Jaka harus menggambarkan orang yang 'jujur', tanpa ragu dia akan berkata itu adalah orang seperti ayahnya.

Tapi, seiring bertambahnya usia, Jaka tidak lagi mengetahui apa artinya 'jujur'. Semua itu berawal dari masalah yang melibatkan dirinya dan Rendi serta beberapa orang di sekitar mereka. Para orangtua termasuk ayahnya mengatakan Rendi tewas karena terbawa arus pantai, bukan karena bunuh diri. Mereka juga meminta dirinya untuk menyembunyikan orientasi seksualnya yang sebenarnya dari orang-orang.

Setiap kali Jaka bertanya kepada ayahnya, mengapa harus seperti itu? Dia berharap ayahnya memiliki jawaban yang jelas. Namun, setiap kali dia mengajukan pertanyaan kepada ayahnya, jawabannya adalah sesuatu yang didefinisikan sebagai pengkhianatan pola didik terhadap diri masa kecilnya dari sang ayah sendiri.

Suatu hari, Jaka tidak ingat persis kapan, dia meledak, dia mengeluh dan berkata kepada ayahnya dengan penuh amarah.

"Papa bilang kita harus hidup dengan jujur, bukan?!"

Kemudian ayahnya menjawab :

"Ada kalanya kita harus memilih melakukan tindakan yang 'benar', meski harus membunuh nilai kejujuran. Apalagi jika itu demi kebaikan banyak pihak."

Bahkan setelah sekian lama, Jaka tidak pernah melupakan kata-kata ayahnya itu.













Jaka menatap seseorang yang mengaku sebagai kakak laki-laki Raka, Edwin yang berdiri di depannya. Dia merasakan keringat dingin membasahi punggungnya. Dilihat dari reaksi Raka, sudah jelas bahwa pria tersebut memang kakak kandung Raka.

Jaka juga berpikir bahwa Edwin datang untuk serius menjemput Raka. Sebab, ternyata pria itu langsung datang ke kosnya sesaat setelah mengetahui kalau Raka menginap di sini. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Lalu, ketika dia membuang muka sejenak, Edwin berbicara pada Raka yang berdiri di belakangnya.

"Ayo pulang. Kamu tau tidak bisa terus di sini, kan?"

Raka terdiam beberapa detik, lalu dia menggelengkan kepala, "Ga mau!!"

"Aku belum siap pulang..."

Raka mengatakan itu sembari menatap ke arah lain dengan suara lebih rendah.

"Jangan terus bersikap seperti anak kecil...!!" Edwin berteriak seakan ingin membungkam Raka, sehingga pundak Raka tersentak akibat terkejut. Pria itu melanjutkan, "Kamu memutus komunikasi denganku secara sepihak dan kabur sampai ke sini. Bagaimana kalau kamu terlibat dengan orang jahat?"

"Itu...!!"

Raka berkata sedikit keras menahan pekik, namun kalimat berikutnya dia katakan dengan lebih lembut.

"Mas Jaka itu orang baik."

"Mana ada orang yang tidak jahat memiliki niat untuk menyembunyikan anak yang melarikan diri?" Edwin menghela napas sejenak, dia menatap mata adiknya.

"Raka, orang dewasa berbeda dengan anak kecil, mereka bisa berpura-pura jadi baik kapanpun," lanjut Edwin.

"Mas Jaka bukan orang seperti itu..!!"

PULANG [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang