49 : Perasaan

1.2K 199 31
                                    

"Aku bersyukur udah kabur. Karena di ujung pelarianku ada Mas Jaka."

Raka berkata mengawali ungkapan perasaannya. Walau hanya nampak sisi wajahnya dari samping, Jaka melihat pemuda itu mengukir senyum tenang.

"Setelah kembali ke Malang, aku terus memikirkannya," Raka melanjutkan dengan tatapan seolah berandai. "Bagaimana kalau aku bertemu denganmu pada situasi yang berbeda. Seperti jadi teman sekelas, kakak kelas, atau anggota keluarga."

Jaka tertegun selama mendengarkan perkataan Raka. Setiap kata-kata Raka bagai air yang mengalir di dalam hatinya, menciptakan muara rasa yang amerta di sana. Dia tidak tahu harus menjawab apa.

"Tapi, aku pikir semua itu keliru."

Raka menggerakkan tubuhnya menghadap ke arah Jaka setelah berkata demikian. Dia tersenyum cerah dan menatap langsung ke mata Jaka.

"Aku bersyukur bertemu dengan Mas Jaka yang bukan teman sekelas maupun keluarga. Aku sungguh bersyukur bertemu denganmu saat memakai seragam ini."

Jaka membuka mulutnya terkejut. Sekarang, dia mengerti alasan Raka mengenakan seragam hari ini. Pertemuan dia dengan Raka diawali dengan pemuda itu yang mengenakan seragam SMA. Tidak bisa dipungkiri bahwa hal itu juga yang mengantarkan mereka sampai di titik ini. Dia kemudian terkekeh pelan.

"Aku juga. Aku bersyukur bertemu denganmu," kata Jaka menatap Raka disertai senyuman. "Berkatmu, aku bisa memahami diriku lebih baik lagi dan bisa melawan rasa takut dari masa lalu."

Raka tersenyum, "Syukurlah."

"Iya."

"Mas Jaka."

"Hm?"

Jaka menatap Raka lebih lekat. Dia menyadari perubahan pada wajah Raka. Selain tatapan mata yang memancarkan tekad besar, dia juga melihat semburat kemerahan di pipi pemuda itu. Tak lama kemudian, dia tahu jawabannya.

"Aku menyukaimu, Mas Jaka!"

Jaka tersentak kaget. Sontak saja dia merasakan sensasi terbakar di pipinya.

"Kamu masih waras?"

"Iya. Aku serius."

Mendengar nada serius Raka saat mengatakan itu, Jaka menghela napas.

"Jangan buat aku mengulanginya." Jaka mengulum senyuman masam di bibirnya. Dia melanjutkan, "Yah, kamu udah tau masa laluku dan aku ga mau mengulanginya lagi. Jadi, aku ga bisa tertarik pada bocah."

Raka melebarkan matanya terkejut, dia terus menatap Jaka yang menggerakkan tubuh menghadap ke arahnya.

"Kamu itu imut. Aku sungguh berpikir begitu. Tapi, aku ga bisa memandangmu sama seperti orang dewasa," ujar Jaka.

"Begitu ya," Raka bergumam lirih dengan kepala sedikit tertunduk. Lalu, dia tiba-tiba mengangkat wajah dan menunjukkan senyum termanisnya, "Berarti, kalau aku udah bukan bocah, ada kesempatan dong?"

"Eh?"

Jaka awalnya mengernyitkan kening kaget. Tetapi, dia lalu tertawa renyah. Seperti yang dia tahu, Raka keras kepala.

"Mungkin aja kalau kamu udah jadi orang dewasa yang bekerja," Jaka menanggapi.

Mendengar itu, Raka langsung memasang wajah serius, "Kalau begitu, tunggu aku."

"Ga akan!" Jaka memotong dengan tegas. "Kalau menunggumu, aku akan lewat dari masa om-om dan jadi simbah!"

Setelah mengatakan itu, Jaka meletakkan tangannya pada pucuk kepala Raka. Dia mengusaknya pelan sembari tersenyum.

PULANG [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang