Naresh menyetir mobilnya dengan kecepatan penuh di jalan raya, dan menyalip setiap kendaraan lain yang ada di depan mobilnya dengan gesit. Dia melirik Jaka yang duduk di sampingnya dengan ekspresi cemas. Akan berbahaya jika dia membiarkan Jaka menyetir sendiri dalam kondisi seperti itu.
Naresh teringat kondisi Jaka ketika pria itu mengalami patah hati akibat ditolak. Malam itu dia menyarankan agar Jaka meninggalkan mobilnya di tempat parkir hotel dan pulang dengan naik taksi saja, karena jarak rumahnya dengan kos Jaka cukup jauh sehingga dia tidak sempat jika harus mengantar. Sedangkan, istrinya sudah menunggu di rumah saat itu. Tapi kali ini, dia tidak mungkin membiarkan Jaka menghadapi situasi ini sendiri.
"Jujur aja, sejak kamu bilang kalau kamu memungut anak SMA, apalagi waktu kamu bilang dia mirip Rendi, aku punya perasaan kalau situasi seperti ini akan terjadi," Naresh berbicara dengan mata yang terus menatap ke arah jalan raya.
Jaka menoleh sinis, "Maksudmu apa?"
"Pikiranmu benar-benar dipenuhi olehnya."
"Ituㅡ!!"
"Akhir-akhir ini di kepalamu isinya cuma Raka," Naresh memotong ucapan Jaka yang hendak melayangkan protes.
Jaka kehilangan kata-kata, dia terdiam menatap ke arah bawah. Menyadari gelagat pria itu, Naresh mendengus kesal.
"Liat aja bikin sebal sendiri."
"Apanya?"
"Padahal udah tau hal yang penting itu apa, tapi masih pura-pura ga sadar," Naresh menghembuskan napas kasar melalui hidung setelah mengatakan itu. Dia melirik tajam ke arah Jaka dan berkata, "Itu membuatku sangat kesal."
Jaka melihat Naresh mengatakan itu tanpa menyembunyikan ekspresi kekesalannya. Naresh biasanya bersikap hangat, bahkan dia biasa sambil tertawa ketika mengeluh tentang pekerjaan. Jaka merasa Naresh pasti benar-benar sedang 'marah' sekarang. Untuk pertama kalinya dia melihat Naresh seperti itu, meski mereka sudah lama bersahabat.
"Mau kerja di kondisi begini? Padahal ekspresi wajahmu jelas ingin mencarinya."
Jaka terdiam akan pertanyaan Naresh barusan, dia tidak dapat menyangkalnya.
"Hal penting kalau ga cepat kamu sadari, semuanya akan terlambat," Naresh terus mengeluarkan kata-kata yang tajam. "Sebenarnya kamu cemas kalau Raka pulang sendiri, kan?"
"Aku..."
Jaka tidak bisa langsung menjawab, namun dia berpikir bahwa itu benar.
"Tapi sebenarnya itu hanya dalih," kata Naresh melanjutkan. "Kamu sendiri takut kalau harus berpisah dengan Raka."
Jaka merasa seperti seseorang meremas organ dalamnya saat mendengar itu, kata-kata Naresh tepat mengenai sasaran.
"Ga, kalau dia bisa bahagia, makaㅡ!!"
"Asal kamu tau, terlalu denial bisa membawa kamu pada sebuah penyesalan," lagi-lagi Naresh memotong. "Kamu pikir dia akan bahagia dengan pulang seorang diri ke rumahnya?"
Itu tepat sasaran untuk kesekian kalinya. Jaka hanya memikirkan tentang hal itu, dia tahu jika Raka harus pulang. Dia tidak memiliki pilihan lain selain menerimanya. Tetapi, pada akhirnya kepulangan Raka hanya solusi yang menguntungkan untuk ibu pemuda itu, yaitu meredam gunjingan orang-orang. Padahal, Raka akhirnya bisa menunjukkan senyuman yang indah setelah melarikan diri dari tempat itu. Jaka sekarang merasa sangat khawatir jika Raka akan kehilangan senyum itu ketika pulang ke rumah orangtuanya.
"Semuanya terbaca dari wajahmu."
Naresh memberitahu Jaka, dan sontak saja itu membuat Jaka terhenyak kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG [✓]
Fanfiction⌠ boy x boy | jeno x renjun ⌡ ❛❛ Rumah dan pulang bukan perkara tempat, tapi perasaan. ❜❜ kujangsiku noren ver alternate story of blue neighbourhood. bebas mau baca blue neighbourhood dulu atau tidak, tapi sebagian cerita itu berkaitan dengan ceri...