Jaka berjalan keluar ke teras, Raka juga mengikutinya. Ketika dia menuruni anak tangga, segala pemikiran meledak dalam benaknya. Dia pikir akan mudah mengerti situasi dalam keluarga Raka. Tetapi, rupanya kenyataan situasi yang sebenarnya jauh dari yang dia duga. Dia terduduk pada ujung anak tangga paling bawah, dengan Raka di sebelahnya. Saat dia menundukkan kepala dalam-dalam, seketika air mata mengalir di pipinya.
"Mas Jaka, ke-kenapa?" Raka menoleh bingung mendengar isakan pria di sampingnya. "Kenapa kamu menangis?"
Jaka menghirup cairan hidungnya, kemudian mengusap air matanya menggunakan lengan bajunya. Ini bukan saatnya dia terlihat lemah di depan Raka. Namun, gejolak perasaan dalam dada membuatnya tidak dapat menahan diri.
"Aku kira aku paham...," sambil lengan kanannya menutupi wajahnya, Jaka menjawab dengan suara sedikit bergetar. "...apa yang ibumu rasakan dari ceritamu. Tapi, saat mendengar 'dia harusnya ga melahirkanmu', aku sadar kalau penderitaanmu jauh lebih berat. Kalimat seperti itu mana bisa ditahan sakitnya..."
"E-engga apa-apa, Mas Jaka."
"Jelas ada apa-apa!"
Jaka menyangkal perkataan Raka dengan sedikit berteriak, membuat pemuda itu tersentak bingung. Dia menurunkan lengannya dan menatap ke arah Raka.
"Marahlah! Bantah ucapan ibumu."
Raka tersenyum masam. "Mas Jaka, aku juga marah kok. Tapi, Mas Jaka udah marah duluan," katanya kemudian.
Raka kemudian menunjukkan senyuman yang berbeda dari sebelumnya. Senyum itu menambah rasa sakit di hati Jaka. Sebab, dia tahu Raka hanya berpura-pura kuat dengan senyum itu. Bukan itu yang ingin dia lihat. Dia ingin Raka tersenyum alami tanpa beban.
"Terimakasih, Mas Jaka," Raka berkata lagi, kini maniknya terlihat berkaca-kaca.
Melihat Raka yang berusaha kuat di depan orang dewasa, entah mengapa hati Jaka terasa seperti diremas. Sudah cukup banyak penderitaan yang Raka terima. Tidak masalah untuk terlihat lemah sesekali, pikirnya. Tapi, Raka terus berjuang keras. Karena memikirkan itu, dia tak kuasa menahan tangisnya lagi. Raka pun ikut menangis melihatnya. Alhasil, dua lelaki berbeda usia itu menangis bersama di sana.
Butuh beberapa menit hingga mereka berhenti menangis dengan perasaan sedikit lebih lega. Jaka menatap ke arah langit, tidak banyak awan menyelimuti. Sehingga dia dapat melihat bintang-bintang berkilauan dengan jelas, perasaannya menjadi jauh lebih damai.
"Langit berbintang itu luar biasa indah, ya."
Mendengar ucapan dari pria itu, Raka lantas menanggapi disertai senyuman.
"Iya, kan?"
Mereka memandang langit yang dipenuhi gemintang. Keheningan menyelinap di antara keduanya cukup lama. Hingga, tiba-tiba Raka angkat bicara.
"Oh iya, Mas Jaka."
"Iya?"
"Saat Mas Jaka bertekuk lutut, aku merasa seperti dimaafkan."
Jaka tertegun mendengar kata-kata Raka, dia menoleh untuk menatap Raka yang masih menatap ke arah langit. Dia menunggu apa yang akan Raka katakan, karena Raka terlihat membuka mulut lagi.
"Meski semua yang aku lakukan selama ini salah, tapi ga semua yang sia-sia."
Jaka menatap sisi wajah Raka sembari berusaha memahami maksud perkataan pemuda itu. Tak berselang lama, dia merasakan hangatnya telapak tangan Raka pada punggung tangannya.
"Udah, ga apa-apa," ujar Raka seraya mengusap punggung tangan Jaka dengan lembut. Dia lanjut berkata tanpa menatap lawan bicaranya, "Meski udah ga ada Mas Jaka, aku pasti bisa hidup sendiri. Makanya, kamu ga perlu khawatir."
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG [✓]
Fiksi Penggemar⌠ boy x boy | jeno x renjun ⌡ ❛❛ Rumah dan pulang bukan perkara tempat, tapi perasaan. ❜❜ kujangsiku noren ver alternate story of blue neighbourhood. bebas mau baca blue neighbourhood dulu atau tidak, tapi sebagian cerita itu berkaitan dengan ceri...