"Tidak banyak orang dewasa yang mau mengurus anak orang lain dengan niat tulus."
Edwin yang duduk di kursi kemudi berbicara pada Raka di sebelahnya. Pemuda itu mengangguk setuju akan perkataan kakak laki-lakinya.
"Mas benar."
Edwin menghela napas, "Saat kamu kabur dan setelah aku mengetahui masalahmu dengan Lukas, aku selalu khawatir kamu terjerumus ke dalam lingkungan yang lebih buruk, tapi sekarang aku sedikit lega."
Raka terhenyak, dia menoleh ke arah kakaknya yang juga menatapnya.
"Karena orang itu tulus menjagamu," Edwin lanjut berkata disertai senyuman tipis.
Raka mengangguk sekali lagi, "Iya."
Kata-kata Edwin membuat dada Raka sedikit sakit. Dia merasa tidak nyaman dengan perhatian dari kakaknya, karena selama ini dia hidup di lingkungan orang jahat berulang kali. Dia tidak tahu apakah kakak laki-lakinya sungguh mengkhawatirkannya, tetapi dia menerima bantuan setiap kali dia kehabisan uang untuk tinggal di suatu tempat. Kakaknya selalu berkata padanya, 'Jika uang kamu habis, pulanglah'. Saat itu dia justru mengabaikan dan memutuskan komunikasi lalu terus melarikan diri.
Untuk sesaat, Raka berpikir tentang bagaimana proses penyelidikan yang kakaknya lakukan sehingga berhasil menemukannya di kos Jaka. Dia menatap sisi wajah kakaknya, tetapi pria itu hanya melihat ke arah setir. Dilihat dari ekspresi wajah Edwin, sepertinya kakaknya itu juga tidak ingin mengatakan apa-apa. Dia akhirnya menyadari bahwa kakaknya punya pengawal yang handal dalam mengumpulkan informasi.
Raka mendadak penasaran apakah kakaknya juga mengetahui detail perjalanannya dari awal sampai ke sini. Lagipula, dia sudah lupa siapa saja nama orang yang rumahnya pernah dia singgahi. Karena itu dia akan terus bungkam dan tidak akan menceritakan itu pada kakaknya. Ketenangan dan keheningan menyerbu mereka selama beberapa saat.
"Ibu selalu meneleponku," Edwin berkata memecah keheningan, membuat Raka menoleh. "Menanyakan apa sudah menemukanmu atau belum, setiap hari."
"Begitu..."
"Sejak 'kejadian itu', kondisi Ibu jadi tidak stabil. Setelah kamu kabur dari rumah, kondisinya semakin parah."
Raka merasakan sensasi sesak di dadanya ketika Edwin menyebutkan 'kejadian itu' dan kondisi ibunya yang semakin parah setelah dia melarikan diri. Dia tahu kondisi ibunya seperti itu bukan karena khawatir saat dia kabur, melainkan karena hal lain.
Dan seolah sudah mati rasa, jadi Raka tidak merasakan apa-apa ketika mendengar itu. Dia begitu akibat masalah yang terjadi di dalam keluarganya. Karena itu, jika dia ditanya apakah dia akan tinggal di rumah dalam kondisi seperti itu, dia akan mengatakan jelas tidak mungkin.
Sejujurnya, Raka merasa belum ingin pulang ke rumah itu. Hatinya tidak cukup kuat untuk terus tinggal di rumah itu dengan memikul beban 'kenangan kelam' di pundaknya. Bahkan tidak satupun orang membantunya. Seandainya seseorang seperti Jaka ada di dekatnya...
Raka segera terserang perasaan sedih saat memikirkan hal itu. Padahal dia sudah berikrar di depan Jaka bahwa dia akan berusaha keras untuk mempersiapkan diri agar bisa pulang. Sekarang, kakaknya datang, dan tidak peduli seberapa keras dia berusaha untuk melawan atau menolak, dia harus pulang ke rumah itu.
"Maka dari itu, lebih baik kamu pulang dulu," Edwin berbicara sambil menatap adiknya. "Aku juga akan membantu kamu semaksimal mungkin."
Raka sedikit menundukkan kepala, dia terdiam selama beberapa saat. Dia memilih kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Setelah melewati perasaan ragu, akhirnya dia membuka mulut.
"Awalnya, aku kabur karena merasa tersiksa."
Edwin mengengarkan adiknya dengan diam tanpa mengatakan apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
PULANG [✓]
Fanfiction⌠ boy x boy | jeno x renjun ⌡ ❛❛ Rumah dan pulang bukan perkara tempat, tapi perasaan. ❜❜ kujangsiku noren ver alternate story of blue neighbourhood. bebas mau baca blue neighbourhood dulu atau tidak, tapi sebagian cerita itu berkaitan dengan ceri...