41 : Perjalanan

915 172 2
                                    

Hari keberangkatan.

Jaka mengemasi barang-barang yang sekiranya akan dia perlukan selama perjalanan ini, sementara Raka melakukan pekerjaan rumah untuk terakhir kalinya. Dia melihat Raka mencuci pakaian, mengepel lantai, dan memasak sarapan mengenakan seragam sekolah. Penampilan pemuda itu sama seperti saat pertama kali datang ke sini. Meski seakan tak nyata, namun batas 'hidup bersama' ini sungguh telah di depan mata.

Tidak banyak percakapan yang terjadi selama mereka sarapan. Karena mereka harus bergegas pergi ke bandara. Mengetahui kabar bahwa Jaka akan ikut ke Malang, lantas Edwin langsung membeli tiket pesawat untuk mereka bertiga. Selesai sarapan, mereka meninggalkan kos lalu beranjak ke halaman parkir. Di sana sudah ada Edwin dan Bagas yang menunggu. Saat mereka turun, tiba-tiba Bagas menghampiri Raka dengan cepat.

"RAKA!!"

Raka sedikit terhuyung karena serangan mendadak dari Bagas. Dia hanya bisa pasrah saat Bagas memeluknya dengan erat. Padahal tubuh Bagas sedikit lebih besar darinya, sehingga dia tenggelam dalam dekapan tubuh teman baiknya itu.

"Bagas..."

"Mengantarmu harus heboh, dong!"

"I-Iya. A-aku mengerti...," Raka terkekeh merasakan pelukan Bagas yang kian erat, seolah mereka tidak akan bertemu lagi. "Bagas, sesakㅡ," keluhnya kemudian.

Bagas yang tersadar lalu segera melepaskan pelukannya, "Maaf, aku malah meluk kamu gas pol rem blong."

"Terimakasih, Bagas."

Raka menghela napas panjang, menetralkan pernapasannya. Dia menatap Bagas tertawa renyah namun ada kesedihan yang tergambar dalam tatapan pemuda itu. Seketika dia merasakan sensasi menusuk di dadanya. Mereka telah menjadi teman baik selama beberapa bulan terakhir. Bagas adalah sosok teman pertama yang bersedia menerima masa lalu kelamnya. Belum lagi, dia mengetahui fakta bahwa Bagas selalu kesepian sebelum dia datang. Dan hari ini menjadi perpisahan yang berat bagi mereka.

"Tolong ya, Kang Jaka," Bagas beralih mendekati Jaka kemudian menepuk punggung pria itu dengan sangat keras. Dia lanjut berkata, "Jaga Raka baik-baik!"

"Iya, iya."

Bagas mengangguk puas akan jawaban Jaka. Dia lalu menatap Raka dengan senyuman hangat di wajahnya. Meski hatinya tak rela, tapi dia bersikap tegar.

"Nah, selamat jalan Raka."

Raka terhenyak sejenak, entah mengapa perasaan sedih bercampur lega menguasai hatinya saat mendengar kalimat itu dari Bagas. Dia perlahan mengulas senyuman. Karena Bagas juga mendukungnya, jadi dia harus menguatkan tekadnya untuk pulang.

"Iya. Aku pergi!"

Edwin tersenyum dalam diam. Dia tidak lupa untuk mengucapkan terimakasih pada Bagas karena telah menjaga Raka selama di tempat ini. Dia bersyukur bahwa adiknya bertemu dengan orang-orang baik seperti mereka. Bahkan kekayaan perusahaannya tidak akan cukup jika untuk membalas kebaikan Jaka dan Bagas kepada adiknya.

•••





"Saya tidak menyangka Anda akan ikut juga. Sampai mengambil cuti segala."

Edwin tiba-tiba angkat bicara saat Jaka memasangkan selimut ke tubuh Raka yang tertidur setelah satu jam pesawat mereka mengudara. Dia terdiam sejenak menatap Raka pada kursi di sampingnya. Melihat wajah tidur pemuda itu, nampak raut cemas dan takut terpatri di sana. Dia mengerti jika ketakutan untuk pulang masih melanda hati Raka, karena itu lah dia di sini. Dia pun perlahan menjawab.

"Saya ikut karena ingin membantunya mengumpulkan keberanian," kata Jaka dengan jujur tanpa mengalihkan atensinya. "Tapi, selama perjalanannya, Raka paling lama tinggal di tempat saya. Jadi, saya punya tanggungjawab menjelaskan hal ini pada ibu Raka."

"Jujur saja, saya tidak yakin Ibu akan percaya pada penjelasan Anda. Tapi, saya sangat tertolong karena kepedulian Anda pada Raka," Edwin tersenyum ramah.

"Mas Jaka."

Raka tiba-tiba berbicara, membuat Edwin dan Jaka menatap ke arahnya. Edwin melihat adiknya menoleh pada Jaka dengan ekspresi setengah sadar. Pria itu bergumam pelan, "Kamu bangun, ya?"

"Kamu benar-benar akan ikut?"

Jaka berdeham panjang mendengar pertanyaan itu dari Raka. Pemuda itu masih belum percaya pasti karena efek bangun tidur, pikirnya. Dia menggaruk belakang kepalanya sambil menjawab.

"Yah, aku kan udah di pesawat."

"Setelah mendarat, kita akan melanjutkan perjalanan dengan mobil," Edwin menyela dengan penjelasan. "Kalau Anda berubah pikiran, Anda bisa terbang kembali ke Jogja."

"Tidak, mana mungkin bisa begitu. Saya mau ikut. Tolong ijinkan saya ikut."

Raka sontak saja mengeluarkan suara tawa. Tubuhnya yang menghadap ke jendela sampai bergetar. Meski dia menutupi mulutnya dengan tangannya, tetapi suara tawanya jelas terdengar. Ini pertama kalinya dia mendengar Jaka berbicara memohon sangat sopan. Dia pun tidak dapat menahan tawa. Jaka yang merasa diejek oleh cara pemuda itu tertawa, menoleh dengan sinis.

"Kamu terlalu keras tertawa, Raka," Jaka membuang napas kasar lalu menyandarkan punggungnya pada kursi. "Udah kubilang, aku akan mengurusmu sampai akhir," katanya melanjutkan.

"Iya."

Raka berhenti tertawa dan melakukan peregangan. Meski tertidur di dalam pesawat selama beberapa menit, dia tidak merasakan tubuhnya pegal sama sekali.

"Kursi ini sangat empuk ya," kata Raka.

Jaka terkekeh, "Iya, nyaman sekali."

Sementara Jaka dan Raka mengobrol, Edwin berkutat dengan laptopnya. Dia memegang posisi penting di dalam perusahaan. Karena itu, kemana pun dia pergi, dia harus selalu memeriksa email.

"Apa kamu jarang naik kelas bisnis?"

"Malahan, ini pertama kalinya aku naik pesawat."

Raka menjawab pertanyaan Jaka sambil dia mengeksplorasi tempat duduknya. Dia bersikap seolah anak kecil yang serba ingin tahu tentang hal yang baru ditemui. Dari hasil pengamatannya, tempat duduk di kelas bisnis sangat luas dan dilengkapi pijakan kaki. Sehingga ingin duduk tegak lurus, setengah berbaring, sambil menonton atau tidur pulas, semuanya bisa. Selain itu, juga sangat terasa masing-masing penumpang memiliki kursi secara utuh karena ada pemisah antar kursi dan sandaran kursi sendiri. Dan masih banyak fasilitas mewah lainnya yang disediakan di kelas bisnis.

"Iya, kah? Aku pikir kamu udah pernah naik pesawat saat liburan," ujar Jaka lagi.

Raka menoleh pada pria itu sambil tersenyum, "Keluargaku jarang liburan."

Jaka terdiam kehilangan kata-kata. Dia merasa telah salah mengatakan hal itu.

"Makanya, aku agak senang." Raka kembali duduk dengan benar dan berkata, "Mungkin aku terlalu santai di situasi seperti ini."

"Ga, aku mengerti," Jaka menyanggah disertai kekehan. "Orang dewasa sepertiku juga berdebar saat naik kelas bisnis."

Raka terkekeh renyah, "Benar, kan?"

Jaka secara alami mengangkat kedua sudut bibirnya. Dia tidak tahu jika senyum Raka bisa berdampak besar pada dirinya. Perasaan hangat muncul dalam dadanya setiap kali melihat senyum Raka.

"Ah, liat itu Mas Jaka!"

Jaka tersadar dari lamunan mendengar pekikan riang Raka seraya menunjuk ke arah jendela. Dia pun mencondongkan tubuhnya ikut mendekat ke jendela dan melihat ke arah luar bersama Raka.

"Ada bayangan pesawat di awan!"

Raka berkata penuh kekaguman.

"Wah! Ternyata begini penampakannya!"

Raka terus menatap bayangan pesawat yang terlihat di atas gumpalan awan. Dia tak hentinya merasa kagum. Dari ekspresinya, pemuda itu memang terlihat baru pertama kali naik pesawat. Namun, entah mengapa Jaka merasa bahagia melihat reaksi kekanakan Raka itu.

"Hebat!"

Ketika Raka memuji pemandangan di depan mata, Jaka justru memperhatikan pemuda itu dalam diam. Senyum alami di wajah Raka membuatnya tidak menyesali keputusannya sama sekali. Dia ingin menjaga senyum indah itu sampai akhir.

PULANG [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang