45 : Orangtua

925 171 11
                                    

Raka ditampar ibunya.







"Raka!"

Jaka berteriak kaget. Dia yakin semarah apapun orangtuanya, mereka tidak pernah bermain tangan padanya sama sekali. Berdasarkan pengalaman hidupnya itu, dia berpikir semua orangtua sama. Namun, kenyataannya dia salah besar. Seorang wanita di hadapannya yang berstatus 'ibu' itu, tidak segan menampar anaknya yang baru saja pulang setelah sekian lama melarikan diri dari penderitaan di tempat ini. Hal itu membuatnya merasa geram.

Raka terbelalak ke arah kanan, rona merah tercetak jelas di pipi kirinya. Dia begitu terkejut sehingga menatap ibunya dengan manik bergetar. Tamparan yang sangat keras itu tak hanya membuat pipinya berdenyut sakit, tapi juga melukai hatinya. Sedangkan, dalam ekspresi ibunya tidak ada raut bersalah sama sekali setelah menamparnya. Melihat itu, Jaka merasa suhu tubuhnya naik menahan angkara yang memuncak.

"Pergi ke mana saja kamu?!!"

Wenny berbicara dengan nada tinggi. Dia menatap tajam putra keduanya, yang hanya terdiam tak mampu berkata-kata.

"Karena kamu, banyak gosip miring dan membuatku repot!!" teriak Wenny lagi.

Edwin melihat ibunya berjalan kian mendekat ke Raka, dia segera beranjak mencegah dan menengahi keduanya. Sebelum hal yang lebih buruk terjadi.

"Ibu, kita ada tamu. Tolong hentikan."

Wenny berhenti lalu menoleh pada Edwin, setelah itu dia menoleh ke arah tamu yang dimaksud. Saat itu lah, dia baru menyadari kehadiran orang lain di rumahnya. Dia memperhatikan orang itu dengan ekspresi tak bersahabat.

"Dia Jaka, yang menjaga Raka cukup lama. Aku memintanya untuk ikut," ujar Edwin menjelaskan pada ibunya.

Jaka mengangguk takzim satu kali sebagai isyarat salam hormat kepada ibu Raka.

"Penjaga ya?"

Wenny mengatakan itu dengan tatapan tajam bukan berniat bertanya, tapi dia hanya bergumam pada dirinya sendiri. Kemudian, dia menyingkir dari sana tanpa mengatakan sepatah kata apapun.

Jaka menoleh untuk menatap wajah Raka. Dia menyadari senyum alami pemuda itu hilang dalam sekejap, hanya pada langkah pertama memijakkan kaki di rumah ini. Nasib baik, dia memutuskan untuk ikut. Dia akan berusaha yang terbaik demi menjaga dan mengembalikan senyum di wajah Raka.

Edwin mengajak mereka untuk masuk ke ruang tamu. Rumah ini memiliki ruang dari pintu depan mengarah ke ruang tamu, mirip lobi kecil. Sementara itu, ruang tamu adalah ruangan tersendiri yang juga memiliki pintu. Jaka mendekat ke Raka yang masih terdiam di tempatnya. Dia memanggil dengan pelan.

"Raka..."

Raka menoleh saat Jaka memanggilnya. Dia tersenyum, "Aku ga apa-apa. Ayo."

"Silahkan masuk," Edwin membukakan pintu yang menuju ruang tamu.

"Baik."

Jaka mengangguk singkat. Dia tiba-tiba memegang bahu kiri Raka, membuat pemuda itu tersentak menoleh kemudian merenung selama beberapa detik. Tak berselang lama, ekspresi Raka langsung berubah menunjukkan tekad lebih kuat.

Mereka berjalan masuk ke dalam ruang tamu. Di sana ibu Raka terlihat sudah duduk dengan ekspresi wajah acuh tak acuh. Setelah seorang pelayan menyajikan minuman untuk mereka, keheningan yang mencekam terjadi selama beberapa saat.

Wenny yang duduk di sebelah Edwin, menyangga dagu dengan lengan di atas meja, tatapan tajamnya tak lepas dari Raka. Sedangkan, Raka dan Jaka yang duduk bersebelahan hanya mampu terdiam dengan tatapan ke arah bawah.

"Jadi, maumu itu apa?"

Wenny bertanya dengan sinis.

"Kabur dari rumah begitu lama dan merepotkan keluarga. Bahkan saat ada di rumah, kamu hanya membawa masalah."

PULANG [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang