42 : Jalan-Jalan

882 170 3
                                    

Setelah hampir empat jam perjalanan dengan pesawat, mereka akhirnya mendarat di Bandara Juanda, Sidoarjo. Edwin memiliki alasan sendiri mengapa dia tidak memesan penerbangan ke Bandara Abdulrachman Saleh, yang mana lebih dekat dengan Kota Malang. Sebagai penerima fasilitas tiket gratis, tentu saja Jaka dan Raka hanya bisa menurut.

Seseorang sudah menunggu mereka ketika mereka keluar dari bandara. Seorang pria jangkung mengenakan baju serba hitam, dia pasti lah sopir pribadi Edwin. Karena pria itu dengan sigap membukakan pintu mobil hitam yang terlihat mewah untuk mereka. Edwin menyunggingkan senyum formal sebelum masuk ke dalam mobil.

"Terimakasih."

Edwin, yang duduk di samping pengemudi, berbicara pada Jaka dan Raka yang duduk di belakang. "Dari sini, kita akan ke Surabaya naik mobil," ujarnya.

"Eh?" Jaka merasa bingung. Dia lantas bertanya, "Maaf, ke Surabaya? Bukankah rumah Anda ada di Kota Malang?"

"Perusahaan kami punya cabang di sana. Saya mau mampir ke sana sebentar."

"Rupanya begitu..."

Edwin terkekeh melihat wajah bingung pria itu, "Saya tidak bisa pergi ke Jogja tanpa alasan yang jelas. Karena itu, saya harus melaporkan. Saya mohon maaf."

"Ah... Tidak apa-apa."

Perlahan mobil yang mereka tumpangi bertolak dari area bandara dan bergabung dengan kendaraan lain di jalan raya. Edwin menggerakkan maniknya ke arah rear-view-mirror melihat Raka yang menatap ke luar jendela dengan ekspresi tak terbaca. Raka lebih banyak diam sejak mereka tiba di Bandara Juanda. Dia pikir Raka terlalu khawatir sehingga tidak dapat mengekspresikan perasaannya. Dia juga merasa khawatir tentang apa yang akan terjadi ketika mereka pulang ke rumah.

"Kurasa kalian bisa menghabiskan waktu bersama selama dua sampai tiga jam," tutur Edwin seraya menatap arlojinya.

Raka menoleh dan mengangguk disertai senyuman, "Baik, aku mengerti."

Jaka dan Raka menghabiskan waktu berdua di sebuah restoran bar, sementara Edwin pergi ke cabang perusahaannya dengan urusannya sendiri. Jaka menilai restoran bar ini jauh lebih mewah daripada yang ada di Jogja. Ketika mereka berjalan masuk, mereka langsung disambut oleh seorang waiter sampai diantarkan ke meja kosong untuk mereka.

"Tolong panggil saya kalau sudah menentukan pesanan," waiter itu berkata sopan setelah menyerahkan menu.

Raka melihat waiter itu pergi dari meja mereka, netranya kemudian menyisir ke sekitar. Dia terperangah kagum dengan desain mewah bangunan restoran bar ini. Dia pikir karena hanya orang-orang tertentu yang mengunjungi restoran bar semewah ini, maka suasana yang tidak terlalu ramai menciptakan perasaan nyaman. Dia menunjukkan senyum lebar di wajahnya.

"Ternyata restoran bar semewah ini ya!"

Jaka tersenyum mendengar komentar pemuda itu, "Ga semua restoran bar begini, sih. Ini juga pertama kalinya aku datang ke restoran bar mewah seperti ini."

"Wah, ada macam-macam menu," Raka berkata riang sambil membuka buku menu. Dia beralih menatap Jaka dan bertanya, "Mas Jaka, kamu pesan apa?"

"Tequila Sunrise aja, deh. Mumpung lagi di restoran bar."

Raka terkekeh, "Kok 'mumpung', sih?"

Jaka terdiam sejenak. Dia berpikir bahwa ini adalah kesempatan berharga baginya berada di restoran bar bersama Raka. Dengan segera dia mengalihkan topik.

"Kamu masih di bawah umur jangan pesan cocktail. Pesan mocktail aja."

"Apa ini ga apa-apa?" Raka menunjukkan sebuah nama minuman dalam menu.

PULANG [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang