47 : Malam Terakhir

1K 174 15
                                    

"Dengan begini, tugasku udah selesai."

Jaka bersiap-siap untuk tidur. Kamar yang dia tempati di rumah Raka ukurannya besar. Dua kali lipat lebih besar dari ruang kamar di kosnya. Begitu pula dengan ranjangnya, tidak hanya besar tapi juga lebih nyaman. Banyak hal yang terjadi hari ini. Meski menguras banyak tenaga, dia merasa lelah dan lega di saat bersamaan.

Jaka berbaring di atas ranjang. Pada akhirnya, ibu Raka bersedia menerima Raka. Sehingga pemuda itu akan memiliki kehidupan yang lebih baik ke depannya. Karena itu, dia tidak perlu merasa khawatir lagi. Tugasnya untuk menjaga Raka sudah selesai. Dia telah menepati janjinya untuk menemani Raka sampai akhir. Jadi, malam ini dia bisa tidur dengan perasaan tenang.

Seharusnya begitu, namun ternyata tidak.

Jaka masih terjaga hingga dini hari. Dia mencoba merubah posisi tidurnya dengan miring ke arah dinding. Dia memejamkan mata agar cepat tertidur. Matanya memang terpejam tapi pikirannya tidak bisa diam. Alasannya jelas. Karena sekarang adalah malam terakhir yang sesungguhnya. Besok dia akan kembali ke Jogja, sedangkan Raka sudah pulang ke rumahnya. Setelah itu, dia dan Raka akan menjalani kehidupan masing-masing.

Saat segala pemikiran bertarung di dalam benaknya, Jaka mendengar suara pintu yang tiba-tiba dibuka. Dia sontak saja membuka mata. Tetapi, dia bergeming ketika mendengar suara langkah kaki yang mengendap-endap kian mendekat. Dia menunggu apa yang akan terjadi. Batinnya terkekeh saat penyusup itu perlahan-lahan menyelinap masuk ke dalam selimutnya. Sejak awal dia sudah menduga tidak mungkin di rumah ini ada maling. Namun, dia tahu memang ada satu maling di rumah ini. Maling cilik yang pandai mencuri kesempatan dalam kesempitan.

"Kamu mau apa sih, Raka?"

Raka terkekeh, "Ketauan deh. Ini kan malam terakhir, jadi aku ingin tidur bersamamu."

"Kamu udah pernah bilang itu di kosku, kan?"

Raka terkikik renyah, "Apa iya?"

"Yah, boleh aja."

Jaka bergerak lebih mendekat ke dinding guna memberi ruang untuk Raka. Dia kembali memejamkan mata, berusaha tidur. Tetapi, Raka tiba-tiba bersuara.

"Mas Jaka, jangan menghadap ke sini ya."

Jaka mengerutkan keningnya. Dia tidak mengerti apa maksud ucapan Raka. Lalu, dia menerima serangan pelukan mendadak dari belakang. Raka memeluknya sangat erat sehingga dia bisa merasakan lekuk tubuh pemuda itu. Karena tubuh Raka benar-benar menempel pada tubuhnya.

"Kamu ngapain sih?!"

"Gapapa kan? Toh, ini terakhir kalinya," Raka terkekeh dan mengeratkan pelukan.

Jaka mendengus pelan, "Jangan kira 'terakhir kali' bisa jadi alasan untuk segala hal."

"Kamu nafsu?"

"Jangan ngawur!"

Raka tertawa riang, suara tawanya terdengar menyejukkan. Saat Raka berhenti tertawa, mereka hening dengan pikiran masing-masing. Jaka bisa mendengar dengan jelas napas dan detak jantung Raka, karena hampir tidak ada jarak di antara mereka sekarang. Setelah hening, Raka mengutarakan isi pikirannya.

"Meski bilang bisa mandiri, aku tetap ga mau berpisah darimu," kata Raka.

"Kamu udah ga perlu mengerjakan tugas rumah setiap hari. Punya kakak yang bisa diandalkan juga, kan? Gapapa kok."

"Aku ga benci mengerjakan tugas rumah di tempatmu kok."

"Benarkah?"

"Iya." Raka mengangguk disertai senyuman saat menjawab, "Aku sangat bahagia."

Jaka terperangah dalam diam. Dia merasa ada gejolak yang janggal dalam hatinya saat mendengar bagian kalimat, 'aku sangat bahagia', dari Raka. Anehnya, hal janggal itu memberikan sensasi hangat pada dadanya. Dia tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Dan dia merasa Raka perlahan melepaskan pelukan.

"Mas Jaka, hadap sini dong."

"Hm? Ada apa?"

Jaka memutar tubuhnya. Saat matanya menyesuaikan fokus pada kondisi remang-remang, dia terkejut sebab wajah Raka terlihat sangat dekat. Sinar rembulan yang menerobos celah-celah jendela menjadi penerangan utama kamar ini. Meski minim pencahayaan, dia bisa melihat dengan jelas rona merah di permukaan wajah Raka. Dia yakin wajahnya sendiri juga memerah sekarang, pipinya terasa panas.

"Um, ini kan terakhir kalinya..."

"Iya..."

"Makanya, apa kamu mau melakukannya walau cuma sekali?"

Jaka mengernyit, "Mau apa?"

"Yah... itu loh. Hubungan badan..."

Sontak saja Jaka melebarkan matanya terkejut, "Kamu melantur apa, sih?!"

"Yah, soalnya... Ini agar kita terus mengingat satu sama lain..."

Jaka tercengang sebentar. Dia memejamkan mata sembari menghela napas panjang. Apa yang Raka lakukan sekarang adalah karena rasa takut jika mereka akan saling melupakan, dia mengerti itu. Bohong jika dia tidak merasakan ketakutan yang sama juga. Namun, dia tidak ingin melakukan 'itu' lagi sebelum menikah. Maka, dia segera bangkit duduk sebagai isyarat penolakan.

Raka menatap bingung, "Mas Jaka?"

"Ga usah melakukan itu pun, aku ga mungkin lupa," Jaka mengatakan yang sejujurnya tanpa menatap Raka.

"Eh?"

Raka juga beranjak duduk.

"Kita udah tinggal bersama selama lima bulan lebih loh," Jaka melanjutkan. "Dua orang yang bukan keluarga maupun kekasih tinggal seatap selama lima bulan lebih. Mana bisa lupa."

Raka tersenyum dan mengangguk. Dia mengerti maksud perkataan Jaka.

"Mungkin aku ga akan lupa selamanya," Jaka berkata seraya menatap Raka, dia mengelus kepala pemuda itu yang mulai terisak, mungkin karena kata-katanya.

"Iya, aku juga ga akan lupa!"

Setelah mengatakan itu, Raka menubruk tubuh Jaka dan memeluk erat. Jaka yang terkejut akan serangan itu benar-benar tidak dapat menghindar. Meski menangis, Raka mengeluarkan suara kekehan. Jaka pun terkekeh melihat tingkah pemuda itu.

"Aku udah memikirkan ini sejak lama. Padahal wajahmu itu keren, tapi cengeng banget ya," ujar Jaka disertai kekehan.

"Berisik! Mau bagaimana lagi, akhir-akhir ini banyak hal bahagia yang terjadi!"

Raka mengusakkan wajahnya pada permukaan dada bidang Jaka. Lebih tepatnya, mengelap air matanya di sana.

"Aduh, aduh, aduh!"

Jaka mengeluh kegelian.

Raka menjauhkan wajahnya dari dada pria itu dan berkata, "Tapi, mumpung ada kesempatan. Mau coba cium bibirku aja?"

Jaka membelalak tak menyangka.

"Dasar kepala batu!"







Pada akhirnya, mereka melewatkan waktu bersama sampai pagi hingga Raka yang tertidur lebih dulu. Sementara itu, Jaka menghabiskan waktu yang tersisa dengan memandangi wajah tidur Raka dalam diam. Dia duduk pada kursi di samping ranjang. Untuk beberapa alasan, Raka terlihat tersenyum dalam tidur.

Jaka tak hentinya menatap senyum indah Raka. Seolah sedang mengukirnya dengan telaten ke dalam otak. Sehingga senyum itu akan terpatri dalam benak. Dan dia tidak akan melupakan Raka, selamanya.

PULANG [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang