Hampir setengah jam berjuang mengeluarkan janin di rahimnya, Anye tampak kelelahan. Keningnya telah dibanjiri keringat. Wajahnya memerah dan tampak menahan sakit. Rambut Anye malah sudah acak-acakan dari tadi.
Arsen yang duduk di samping ranjang hanya bisa diam sambil menggenggam tangan Anye erat. Tidak banyak yang bisa Arsen lakukan. Pikirannya juga terlalu kalut untuk sekadar merapal doa.
"Sakit, Sen," erang Anye yang telah berurai air mata.
Ini sakit, jauh lebih sakit dari pertama kali ia berhubungan seksual dengan Arsen; jauh lebih sakit daripada kontraksi yang ia hadapi berjam-jam sebelumnya. Bayangkan saja, ada bayi yang akan keluar dari lubang sekecil itu.
Anye menggeleng pelan, dia menggigit bibir saat rasa sakit luar biasa itu kembali dirasakannya.
"Aku nggak bisa... Aku nggak bisa, Sen."
Arsen menatap manik Anye dalam. Dia mencoba meyakinkan Anye.
"Bisa, pelan-pelan aja. Sebentar lagi bayinya keluar, kok."
Arsen menoleh ke dokter yang berada di depan jalan lahir. Dokter itu tampak memberi kode.
"Sekali lagi ya, Bu. Dicoba atur nafasnya. Kita coba keluarin adiknya lagi, ya."
Anye menarik nafas, lalu menghembuskannya pelan. Dia mencoba menguatkan diri.
Untuk sekian kalinya Anye mencoba mengeluarkan janinnya. Dengan aba-aba dokter, dia mengejan. Tubuh Anye sudah sangat lelah, tapi dia tidak bisa berhenti di sini begitu saja.
Tangan Anye yang bebas mencengkeram pundak Arsen untuk menyalurkan rasa sakitnya. Arsen pun kemudian setengah membungkuk. Dia memeluk tubuh Anye. Anye mengerang saat tubuh janinnya mulai keluar. Erangannya jauh lebih keras dari erangan-erangan sebelumnya.
Arsen sempat melirik ke arah bawah, namun segera menoleh saat melihat darah di mana-mana.
Cengkeraman Anye di pundak Arsen kini tak lagi terasa seperti cengkeraman, tapi seperti cakaran. Pundak Arsen terasa perih. Tapi Arsen tahu jika rasa perihnya tidak seberapa dibanding rasa sakit yang Anye rasakan.
Sesaat kemudian, Anye berteriak keras. Ia memeluk tubuh Arsen erat dan berteriak panjang. Teriakan Anye itu diikuti oleh tangisan bayi. Dokter dan bidan yang membantu persalinan Anye langsung bernafas lega.
Anye menangis keras dan menaruh kepalanya ke bantal. Arsen sendiri menoleh. Didapatinya sesosok bayi merah muda di gendongan dokter. Secara otomatis bayi itu menarik perhatian Arsen.
Pipi bayi itu tampak sangat tembab. Di sekujur tubuhnya ada bagian-bagian putih yang Arsen tidak tahu itu apa. Arsen menoleh cepat ke Anye. Dia menatap Anye dengan tatapan yang ia sendiri sulit mengartikannya. Tangan Arsen bergerak untuk membenahi rambut Anye yang menempel di wajahnya.
"Kamu hebat, Nye," ujar Arsen lirih.
"Pak, bisa bantu gunting tali pusatnya?"
Seorang ners memberikan sebuah gunting. Arsen menelan ludah. Ragu-ragu dia mengambil gunting itu. Dengan bimbingan, Arsen menggunting tali pusat yang menghubungkan bayinya dengan plasenta.
Setelah tali pusat digunting, bayi tadi dibawa ke sebuah boks di ujung ruangan. Tali plasenta yang masih tersisa dijepit. Kemudian, tubuhnya dibersihkan lagi. Berhubung Anye masih harus ditangani oleh dokter, Arsen memutuskan untuk mendekat ke boks bayi.
Seluruh tubuh bayi kecil itu diperiksa dengan teliti. Mulai dari berat, panjang, hingga respons bayi.
"Jari tangan speuluh, jari kaki sepuluh, lengkap ya, Pak," ujar orang yang memeriksa ke Arsen.
![](https://img.wattpad.com/cover/207956526-288-k574828.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fam-ily
Fiksi UmumAlasan Arsen menikahi Anyelir adalah kehadiran bayi mungil yang masih merah itu. Jika tidak ada dia, mungkin Arsen telah melupakan Anye dan mencari perempuan lain. Namun Arsen lupa bahwa kehadirannya bukan hanya dibutuhkan di mata hukum. Arsen lupa...