Anye berjalan dengan membawa dua blazer di tangannya. Dilihatnya blazer dengan warna lebih muda yang ia pegang.
"Kak, menurut kamu mending mama pakai yang ini atau yang ini?" tanya Anye ketika sampai di depan kamar Ara yang terbuka.
"Mama."
Anye menoleh ke Ara. Selama beberapa detik Anye terdiam melihat Ara yang duduk di kasur bersama sosok lain. Kedua orang itu juga terdian menatap Anye.
"Mama, bajunya..."
Anye terkesiap. Anye baru sadar jika dia ke kamar Ara dengan keadaan kemeja yang belum dikancingkan. Tatapan terkejut dari Ara dan Arsen membuat Anye bergegas menutup dadanya.
"Sorry," ujar Anye sebelum kemudian berbalik kembali ke kamarnya.
Arsen yang masih terkejut dengan apa yang dilihatnya juga buru-buru menunduk. Pria itu berharap agar Ara tidak melihat semburat kemerahan di pipinya yang mulai panas. Arsen menelan ludah, berusaha menghilangkan bayangan payudara Anye yang tertutup bra hitam tadi.
"Sebentar ya, Pa," ucap Ara sambil meletakkan album foto di pangkuannya.
Ara keluar dan menuju kamar Anye. Tampak wanita kepala tiga itu sedang panik mengancingkan kemejanya.
"Mama tuh gimana, sih? Masa keluar-keluar bajunya nggak ditutup?"
Anye menoleh dan berdecak.
"Kamu yang gimana! Ngapain papa ada di kamar kamu? Lagian kan mama udah biasa keluar kamar kayak gitu. Mama malu tahu nggak!"
Ara mengusap tengkuknya dengan rasa bersalah.
"Maaf, Ma. Papa mau jemput aku, terus aku ajak ke kamar soalnya papa bilang mau lihat foto-fotoku pas kecil."
Anye sembarang salah satu blazer yang dia pegang.
"Kamu kan bisa ngasih lihat di ruang tamu aja. Gimanapun papa itu orang asing, Ra. Jangan sembarangan gitu, dong."
"Papa bukan orang asing, papa itu ayahnya Ara."
Anye menghentikan tangannya yang tengah mengancingkan blazer. Matanya bersitatap dengan putri semata wayangnya itu.
"Ara."
"Ara mau berangkat sekolah. Kalau mama masih lama Ara beli makan di sekolah aja."
Ara melangkah keluar dari kamar Anye. Panggilan dari ibunya itu tidak ia indahkan. Ara masuk ke kamarnya untuk menemui Arsen yang masih duduk di ranjang.
"Papa maaf, ya. Mama nggak sengaja."
Arsen yang sedang mengamati album foto mendongak, lantas mengangguk pelan.
"Iya, mama kamu mungkin ngiranya cuma ada kamu doang."
Ara mendudukkan diri di sebelah Arsen. Dia ikut melihat halaman album yang sedang Arsen buka. Di sana ada foto Ara sewaktu kelulusan SD. Ara mengenakan toga berwarna biru, sementara Anye berdiri di sebelahnya dengan dress merah muda.
"Mama cantik, ya?" tanya Ara saat menyadari jika Arsen tengah menatap foto Anye.
Arsen tersenyum tipis, lantas mengangguk.
"Makanya Ara juga cantik."
"Papa dulu gimana ngelamar mamanya?"
Arsen mengernyit. Tampak Ara yang memasang wajah antusias. Sepertinya Anye tidak pernah bercerita soal masa lalu mereka pada Ara.
"Emm... Papa... Waktu itu..."
"Ara."
Anye yang berdiri di depan pintu menginterupsi pembicaraan Ara dan Arsen. Anye hanya melirik sekilas pada Arsen sebelum berbicara kembali pada Ara.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fam-ily
Ficción GeneralAlasan Arsen menikahi Anyelir adalah kehadiran bayi mungil yang masih merah itu. Jika tidak ada dia, mungkin Arsen telah melupakan Anye dan mencari perempuan lain. Namun Arsen lupa bahwa kehadirannya bukan hanya dibutuhkan di mata hukum. Arsen lupa...