Langit tengah sangat gelap. Hujan deras yang sedari tadi turun tak kunjung mereda. Arsen di dalam mobil telah berkali-kali berdecak kesal.
Harusnya sekarang ia menuju hotel tak jauh dari bandara. Lusa ia harus ke Jepang dan dia ingin beristirahat penuh sebelum berangkat. Sayang, niat Arsen sepertinya harus ia urungkan. Arsen yang nekat menyetir sendiri ternyata salah mengambil jalan. Alih-alih lewat jalan besar, dia malah berbelok ke jalan di pinggir kota. Menurut map, jalan ini seharusnya lebih cepat, tapi Arsen rasa tidak.
Sudah hampir dua jam Arsen menyetir tanpa mengetahui kapan ia akan sampai. Melihat map di ponsel sepertinya percuma karena benda itu telah membuatnya tersesat sejak awal. Ponselnya juga telah mati kehabisan baterai dari tadi. Arsen dengan bodohnya lupa membawa charger. Pikirnya, dia bisa saja membeli di bandara atau hotel nanti. Sekarang yang bisa Arsen andalkan hanya intuisinya saja.
Arsen menatap jalanan yang ia lalui. Jalanan ini masih jalan raya dengan gedung-gedung di pinggirnya, namun jalanannya sepi. Mungkin karena sudah hampir tengah malam dan hujan lebat yang turun. Beruntung lampu-lampu jalan masih menyala jadi Arsen tidak terlalu kesulitan.
"Sialan!"
Arsen memukul kemudi ketika mobilnya terasa tidak nyaman. Pasti ada masalah dengan ban mobilnya. Arsen meminggirkan mobil. Ia tidak mau mengambil risiko berkendara dengan ban tidak beres dan jalanan licin.
Menyadari tidak ada payung di mobilnya, Arsen berdecak keras. Akhirnya dia turun dan membuat tubuhnya basah seketika.
Arsen berjongkok di depan ban depan. Bannya telah sangat kempis. Menimbang secepat apa ban itu kempis, Arsen menebak jika bannya terkena paku atau sobek. Arsen berpikir sejenak. Dia tidak membawa ban serep sekarang. Satu-satunya cara yang bisa ia lakukan adalah mencari bengkel atau menelepon montir.
"Bannya bocor, ya? Kalau jam segini kayaknya bengkel udah tutup." Suara seorang wanita menghentikan gerakan Arsen.
Arsen merasakan air yang turun di sekitarnya sedikit berkurang. Dia berdiri menoleh ke arah sumber suara.
Selama beberapa saat Arsen terdiam, pun dengan orang yang berbicara padanya. Keduanya saling terdiam dengan hujan mengguyur keduanya. Hanya payung biru milik wanita itu yang melindungi mereka berdua.
Arsen masih ingat jelas siapa wanita di depannya. Wanita yang beberapa bulan ini tak lagi ia lihat. Ia tak menyangka mereka bertemu di sini.
"Arsen?" lirih Anye.
Sudah lama sekali Arsen tidak mendengar suara Anye. Arsen tidak bisa menyangkal jika ada sedikit rasa senang di dadanya.
Arsen menatap Anye dalam. Pipi Anye tampaknya sedikit lebih chubby dari terakhir mereka bertemu. Tapi Anye masih terlihat cantik.
Pandangan Arsen tak sengaja jatuh ke perut Anye. Perut yang tampaknya berusaha Anye tutupi dengan tangan. Sadar Arsen memandang perutnya, Anye langsung salah tingkah. Dia menunduk dan masih berusaha menutup perutnya.
Perut Anye membuncit. Bukan, bukan sekadar membuncit seperti orang kekenyangan. Perut Anye membesar, persis orang hamil. Tanpa harus memastikan dua kali, Arsen tahu jika Anye memang sedang hamil.
"Jam segini nggak ada bengkel yang buka. Aku tinggal di apartemen dekat sini. Kalau kamu mau, kamu boleh ke sana buat malam ini," tawar Anye.
Arsen tidak menjawab karena pikirannya masih berkecamuk. Bertemu dengan Anye secara tiba-tiba, terlebih dengan kondisinya yang sedang hamil membuat Arsen harus berpikir keras.
"Kalau nggak mau, kamu bisa cari penginapan di dekat sini."
Arsen berbalik ke arah mobil. Dia mengambil koper di bangku belakanh. Dikeluarkannya beberapa potong pakaian dan ia bungkus dengan plastik yang ada di mobil. Arsen mengunci mobilnya sebelum beralih ke Anye lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fam-ily
Genel KurguAlasan Arsen menikahi Anyelir adalah kehadiran bayi mungil yang masih merah itu. Jika tidak ada dia, mungkin Arsen telah melupakan Anye dan mencari perempuan lain. Namun Arsen lupa bahwa kehadirannya bukan hanya dibutuhkan di mata hukum. Arsen lupa...