50. Jaket

39.7K 4.9K 236
                                    

Anye meletakkan ponselnya ke nakas. Sebuah pesan baru saja ia kirim ke Arsen. Tidak banyak, hanya kabar jika dia telah sampai di rumah. Tadi Anye menolak meski Arsen berkali-kali menawarinya untuk mengantar pulang.

"Mama."

Sebuah panggilan diiringi ketukan pintu membuat Anye menoleh. Anye lantas berjalan ke arah pintu. Ara tengah berdiri di sana saat Anye membukanya.

"Kenapa, Ra? Kamu belum tidur?"

"Emm... Ara boleh tidur sama mama, nggak?"

"Boleh, lah. Sini."

Anye membuka pintu lebih lebar dan membiarkan Ara masuk. Anye meminta Ara agar tidur di sebelahnya. Ara memang masih sering meminta tidur bersama Anye, terutama jika tengah hujan deras di luar sana.

"Udah lama Ara nggak tidur sama mama," ujar Anye sambil menarik selimut untuk menutup tubuh mereka berdua.

Anye merapatkan tubuhnya ke Ara, lantas memeluk putrinya itu.

"Ma, maafin Ara, ya."

Anye mengernyit mendengar permintaan maaf yang tiba-tiba itu. Anye menatap Ara yang tengah menunduk.

"Ara kan nggak salah apa-apa, kok tiba-tiba minta maaf?"

"Mama habis nangis, ya? Mata mama merah. Mama nangis karena Ara, ya?"

Anye menghela nafas. Tangisannya di rumah Arsen masih membekas ternyata.

"Mama nggak nangis karena Ara. Ara kan juga nggak ngapa-ngapain, kenapa mama nangis karena Ara?"

"Terus kenapa?"

"Emm... Yah... Ada, lah. Tapi mama nggak apa-apa, kok. Kadang orang perlu nangis biar dia lega. Mama juga gitu, dan ini sama sekali bukan karena kamu."

Ara mendongak dan menatap Anye dengan mata berkaca-kaca.

"Mama dijahatin sama orang?"

Anye menggeleng.

"Nggak, Kak. Tadi mama cuma ketemu papa kamu, terus... Emm..."

"Mama nangis karena papa?"

Anye terlihat bingung, menyadari jika dia salah karena telah menyebut Arsen.

"Ra... Perasaan orang itu rumit. Iya mama emang nangis karena papa, tapi bukan karena papa jahat. Mama cuma..."

Anye dan Ara saling bertatapan. Anye dengan tatapan bingung harus berkata apa dan Ara yang masih menunggu.

"Mama nggak bisa ngomong karena ini urusan orang dewasa, ya?"

Anye mengangguk menyetujui pertanyaan Ara.

"Tapi mama nggak sedih, kan? Nanti biar Ara marahin papa kalau mama dibikin sedih."

Anye tergelak pelan mendengar ucapan Ara.

"Nggak, mama nggak sedih. Malah mama lega karena hal-hal yang mama sama papa salah pahamin udah jadi jelas tadi."

Anye merasakan Ara memeluknya makin erat.

"Oh, ya? Kalau gitu Ara senang mama sama papa nggak marahan lagi."

"Hm? Emang selama ini mama sama papa marahan?"

"Kalau papanya sih nggak tahu, ya, tapi kalau mama kelihatan marahan ke papa."

"Mama nggak marah," sangkal Anye.

"Terus?"

"Ya... Apa, ya? Kesel aja. Papa kamu kan emang suka ngeselin."

"Ngeselin tapi pernah jadi suaminya mama."

Fam-ilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang