"Anye?" Arsen terduduk saat mendengar rintihan Anye. "Kamu nggak apa-apa, kan?"
Anye tampak mengatur nafasnya. Dia mengangguk pelan.
"Nggak apa-apa, kok. Cuma tadi bayinya nendang keras."
Arsen menatap perut Anye. Perut buncit itu hanya tertutup kaus yang Anye pakai karena Anye tidak menyelimuti seluruh tubuhnya. Tangan Anye masih bergerak mengelus perutnya.
"Emangnya kalau nendang sakit?"
"Kalau lagi nendang biasa ya nggak sakit, tapi kalau keras kayak gini lumayan."
Anye sedikit meringis karena bayinya masih bergerak keras.
"Mau ke rumah sakit aja?" tanya Arsen khawatir.
Anye menggeleng pelan.
"Bentar lagi paling udah selesai nendangnya, iya kan sayang?"
Anye terdiam dan melirik ke Arsen. Ternyata pria itu juga tengah menatapnya.
"Aku... Boleh..."
Arsen mengangkat tangannya tidak jauh dari perut Anye. Arsen ingin memegang perut Anye, namun menunggu persetujuan perempuan itu. Anye sendiri hanya menghela nafas sebelum mengangguk. Ia bergerak agar Arsen lebih mudah mengelus perutnya.
Arsen yang semula duduk kini membaringkan diri dengan kepala di depan perut Anye.
"Emang sering nendang keras sampai kamu ngerasa sakit gitu?"
"Lumayan. Tapi aku senang, kok. Kadang kalau dia nggak nendang malah aku yang khawatir."
Arsen meletakkan tangannya di atas perut Anye. Sejenak di sana, dia tidak merasakan apapun. Arsen kemudian mendongak ke Anye.
"Di sini."
Anye memindahkan tangan Arsen ke sisi lain perutnya. Benar saja, Arsen merasakan gerakan tak lama setelah meletakkan tangannya. Arsen bahkan sedikit menarik tangannya karena terkejut.
"Kerasa, kan? Ini kakinya."
Anye menaikkan kausnya. Dia lalu menyentuh bagian perutnya yang menonjol. Jujur Arsen merasa sedikit ngeri melihat itu. Pasalnya, dia tidak pernah melihat perut ibu hamil dengan janin menendang secara langsung.
Arsen menyentuh kembali perut Anye. Kini ia mengelusnya beberapa kali.
"Arsen," panggil Anye lirih.
"Iya?"
"Kamu ngapain tengah malam masih nyetir? Kamu mau ke mana?"
"Aku mau ke hotel, tapi nyasar gara-gara gps. Lusa aku harus ke Jepang, jadi niatnya mau nginep di hotel dekat bandara sekalian."
"Kamu masih kerja di kantor lama, kan?"
"Iya, kenapa emangnya?"
"Nanti aku bakal hubungin kamu lewat email kantor kalau aku udah ada uang. Mungkin bakal lama, tapi..."
"Ssst, diem. Kamu ngomong jadi nendang lagi. Nanti kamu nggak tidur-tidur kalau nendang terus."
Anye benar-benar terdiam. Dia menunduk untuk menatap Arsen. Sebenarnya ada satu pertanyaan lagi yang ingin Anye tanyakan, tapi entah kenapa bibirnya terasa kaku untuk menyebut nama perempuan yang seharusnya sekarang telah menjadi istri Arsen itu.
***
Arsen bangun sedikit siang. Saat ia bangun, Anye sudah tidak ada di tempat tidur. Dari suara di kamar mandi, Arsen menduga jika Anye sedang mandi.
Arsen turun dari ranjang dan berjalan ke meja makan. Di sana telah tersedia nasi, sayur, dan ikan goreng. Arsen hanya melihatnya sekilas sebelum berjalan ke meja panjanh yang berada tepat di belakang jendela. Dari jendela itu, Arsen bisa melihat keadaan di sekitar apartemen.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fam-ily
Ficción GeneralAlasan Arsen menikahi Anyelir adalah kehadiran bayi mungil yang masih merah itu. Jika tidak ada dia, mungkin Arsen telah melupakan Anye dan mencari perempuan lain. Namun Arsen lupa bahwa kehadirannya bukan hanya dibutuhkan di mata hukum. Arsen lupa...