Kepergian kedua orang tua Arsen sekaligus membuatnya sangat terpukul. Arsen termasuk dekat dengan mereka, meski terkadang dia membantah dan mengakibatkan cekcok. Tapi sebagai anak tunggal mereka, Arsen sangat hormat dan menyayangi keduanya.
Sudah seminggu lebih Arsen tidak menyentuh pekerjaannya. Kantor bisa saja berantakan tanpa kehadiran Arsen. Untunglah ada Dafi yang bisa melobi beberapa orang kantor agar membantu menutup ketidakhadiran Arsen.
Arsen duduk di lantai dengan punggung bersandar di ranjang. Matanya menatap lurus ke pintu balkon yang terbuka. Dia dapat melihat pemandangan luar meski terbatas karena posisinya yang terduduk.
Suara pintu kamar terbuka membuat Arsen menghela nafas. Arsen menoleh dan mendapati Anye masuk membawa nampan.
"Kamu baru makan sedikit banget kemarin. Sekarang sarapan, ya."
"Berapa kali aku bilang, aku mau sendirian, Nye."
Anye berjalan mengitari tempat tidur dan berdiri di sebelah Arsen.
"Kamu nggak bisa kayak gini terus, Sen. Kamu punya kehidupan. Nggak bisa selamanya sedih gini."
Arsen tidak bergerak sedikitpun. Anye menaruh nampan di nakas sebelum berlutut di samping Arsen.
"Aku ngerti kamu sedih, tapi..."
"Kamu nggak ngerti, Nye!"
Anye sedikit terhuyung karena kaget mendengar bentakan Arsen.
"Gimana kamu bisa ngertiin aku kalau kamu aja nggak pernah punya orang tua."
Anye terdiam dengan mata memancarkan luka. Tanpa sadar Anye menghela nafas sebelum ia berdiri. Ditatapnya Arsen yang masih duduk di lantai.
"Kamu bener, aku nggak akan pernah ngerti. Aku berangkat dulu."
Arsen sedikit menoleh ketika langkah Anye berhenti sejenak.
"Ara libur hari ini, jadi dia ada di bawah. Mbok mungkin dateng agak siang," ujar Anye sebelum kembali berjalan.
Arsen menatap lurus kembali ke balkon. Meski dia tidak tinggal serumah dengan kedua orang tuanya, namun kenyataan jika mereka telah meninggal membuat hatinya terasa kosong.
Arsen memejamkan matanya saat kembali mendengar suara pintu dibuka. Bukankah Anye bilang akan berangkat ke kantor? Kekesalan karena tidak mau diganggu membuat Arsen bangkit. Dia langsung mengambil bantal dan melemparnya ke pintu.
"Aku bilang aku mau sendiri, Anye!"
Arsen menatap tajam ke pintu, mengira akan mendapati Anye yang akan memaksanya makan untuk ke-sekian kalinya. Tapi alih-alih Anye, Arsen malah menemukan Ara di sana. Gadis kecil itu terduduk di lantai, mungkin jatuh karena lemparan bantal Arsen tadi.
Ara tak perlu repot-repot menoleh ke Arsen. Dia langsung berdiri dan lari keluar dari kamar Arsen.
"Ara!"
Panggilan Arsen tak berguna. Ara telah keluar dari kamarnya. Merasa frustasi, Arsen hanya bisa memijat pelan alisnya. Dia lalu berjalan ke pintu. Diambilnya bantal yang ia lempar, lalu ia lempar kembali ke kasur. Kini mata Arsen tertuju pada sebuah cup kecil di lantai. Arsen mengambil cup itu, ternyata ice cream.
Di atas cup itu tertempel kertas dengan tulisan yang ditulis dengan huruf besar-besar dan berantakan khas anak kecil. Meski sebagian kertas basah karena tertempel di cup ice cream, tulisannya tetap terbaca.
"Kalau Ara sedih, sama mama boleh makan es krim."
Arsen terdiam membaca tulisan itu. Ia berjalan ke ranjang dan duduk di sana. Dengan gerakan pelan Arsen membuka tutup ice cream dan mulai memakan isinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fam-ily
Ficção GeralAlasan Arsen menikahi Anyelir adalah kehadiran bayi mungil yang masih merah itu. Jika tidak ada dia, mungkin Arsen telah melupakan Anye dan mencari perempuan lain. Namun Arsen lupa bahwa kehadirannya bukan hanya dibutuhkan di mata hukum. Arsen lupa...