Sesuai dengan ucapannya beberapa hari lalu, Arsen benar-benar mengajak Anye makan malam. Laki-laki itu entah bagaimana bisa mendapatkan nomornya. Dia lalu menghubungi Anye dan menentukan waktu untuk bertemu.
"Beneran nggak apa-apa, kan?"
Anye menahan napas saat jari Arsen mengusap telinganya. Detak jantungnya seperti sedang berlomba, berdetak tak keruan. Lagipula telinganya baik-baik saja. Memang berdarah, namun hanya sedikit dan langsung sembuh dalam beberapa hari.
"Nggak apa-apa, kok, Pak. Malah saya nggak enak jadi ngerepotin gini. Padahal salah saya sampai antingnya nyangkut."
Arsen menarik tangannya kembali.
"Kok jadi kamu yang salah? Kan telinga kamu berdarah karena saya narik kaki saya. Maaf, ya."
Maaf, ya.
SUMPAH! GILA! Suara Arsen yang berat dengan nada lembut begitu membuat Anye langsung eargasm. Tunggu saja sampai Tata tahu cerita ini! Dia pasti tidak akan percaya!
"Nye," panggil Arsen kala Anye terdiam sejenak. "Kamu maafin saya, kan?"
"Iya, dong, saya maafin. Tapi emang nggak berlebihan sampai ngajak saya makan malam di sini?"
Anye menatap sekelilingnya. Mereka sekarang berada di restoran hotel tak jauh dari kantornya. Arsen sendiri yang meminta di sini. Dia bahkan menunggu Anye setengah jam di parkiran. Anye mana berani meminta traktiran ke tempat mahal seperti ini.
Masuk ke mobil mewah Arsen saja Anye merasa tidak pantas, apalagi ke restoran mewah begini. Dia berasa diejek miskin dalam seratus bahasa. Chandelier mewah di tengah ruangan, menu-menu yang tidak familiar, serta pakaian bermerek milik pengunjung lain. Semua itu sangat tidak sepadan dengan sepatu diskonan dan tas dua ratus ribuan yang Anye pakai.
Sepotong ikan salmon dengan saus tersaji tidak lama setelah mereka memesan. Anye lupa nama menu ini. Yang jelas, harganya lebih mahal dari kemeja yang ia pakai sekarang. Demi tidak mempermalukan diri sendiri, Anye telah berlatih table manner saat Arsen mengatakan akan makan di sini.
"Tadi di mobil bilang kamu tinggal di panti asuhan. Setahu saya, Nye, kalau masuk umur dewasa udah nggak jadi tanggungan panti."
Anye terbatuk pelan. Arsen yang tiba-tiba menanyakan dengan siapa ia tinggal membuat Anye harus bercerita soal kehidupannya. Soal dia yang tumbuh di panti asuhan sejak bayi. Sedikit memalukan kalau boleh jujur.
"Jadi dulu ada beberapa orang yang mau adopsi saya, tapi ibu panti nggak tega. Katanya, sih, karena dulu pas bayi saya cantik. Makanya dia nggak pernah ngasih izin orang buat ngadopsi saya, terus saya dirawat kayak anaknya sendiri. Bahkan saya nggak diizinin pergi dari panti sebelum nikah."
Arsen tersenyum sedikit mendengar itu.
"Percaya, deh."
"Eh, ini bukan saya yang bilang, Pak."
"Kamu yang bilang juga saya percaya, kok," ujar Arsen sebelum memasukkan satu suapan ke mulutnya.
Anye sepertinya harus segera ke rumah sakit sekarang! Ia akan meminta dokter membedah perutnya dan melihat berapa banyak kupu-kupu terbang di sana.
"Kalau kamu dianggap kayak anak sendiri, kenapa kamu nggak diadopsi secara hukum?"
"Adopsi anak itu nggak gampang, Pak. Banyak syarat yang harus dipenuhi biar sah di mata hukum. Sedangkan ibu itu janda. Bakal susah banget buat adopsi anak."
"Tapi... Kamu senang sama keputusan ibu panti?"
"Maksudnya?" tanya Anye sambil menaikkan satu alis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fam-ily
قصص عامةAlasan Arsen menikahi Anyelir adalah kehadiran bayi mungil yang masih merah itu. Jika tidak ada dia, mungkin Arsen telah melupakan Anye dan mencari perempuan lain. Namun Arsen lupa bahwa kehadirannya bukan hanya dibutuhkan di mata hukum. Arsen lupa...