Tangan Arsen meraih kemeja yang digantung di dalam almari. Hari ini dia memilih kemeja cokelat susu yang akan dipadukan dengan jas dan dasi berwarna senada. Arsen lalu berjalan ke arah cermin. Kemeja yang ia ambil lalu ia kenakan, menutupi tubuh setengah telanjangnya. Tidak lupa Arsen menata rambut dan dasinya sebelum kemudian turun ke bawah. Jas yang akan ia kenakan hanya disampirkan di tangan. Pikir Arsen, lebih baik jas dipakai ketika dia sampai di kantor saja.
Sesampainya di dapur, Arsen tidak langsung menuju meja makan. Dia mengambil sebuah plastik berisi bulatan-bulatan biskuit.
"Rere," panggil Arsen dengan suara lembut. Arsen menoleh ke tangga dan mengernyit saat sosok yang dipanggilnya tidak kunjung datang. "Rere, sini sayang," panggil Arsen lagi.
Tidak lama kemudian, terdengar suara gemerincing dari arah tangga. Arsen tersenyum saat seekor kucing gemuk menghampirinya. Kucing abu-abu itu langsung mendusel di kaki Arsen. Mengerti jika kucingnya meminta makan, Arsen segera mengisi automatic feeder yang sudah kosong. Begitu makanan keluar dari benda itu, si kucing langsung menghiraukan Arsen dan menghampiri makanannya.
"Rere baik-baik di rumah, ya," pesan Arsen pada kucing yang sudah dipeliharanya selama dua tahun itu.
Sekadar mengisi perut, Arsen mengambil roti di kulkas dan membawanya ke mobil. Nanti dia bisa meminta sekretarisnya untuk membelikan bubur untuk ia santap usai rapat pagi.
Hari-hari Arsen di kantor memang masih padat, tapi tidak sepadat tahun-tahun lalu. Arsen kini lebih memperhatikan diri sendiri dan meluangkan waktu untuknya beristirahat. Ia tidak bekerja gila-gilaan lagi seperti dulu.
"Udah kelar rapatnya?" tanya Dafi yang seenaknya masuk ke ruangan Arsen—kelakuan yang tidak pernah berubah dari dulu—.
Arsen yang sedang membuka styrofoam berisi bubur mengangguk. Tangan Arsen dengan cekatan membuka plastik pembungkus bubur dan memindahkannya ke mangkok yang telah disiapkan sang sekretaris. Meski sudah ada styrofoam bawaan, Arsen rasanya kurang nyaman makan dari sana.
"Makan siang lo free nggak?"
"Kenapa?"
"Gue nanti harus ke kantor cabang ngurus sesuatu. Citra nanti harus ke sekolah Rafa."
"Dipanggil BK lagi?"
Dafi menghela nafas dan menghempaskan tubuhnya ke sofa.
"Itu anak ada aja ulahnya. Entah berantem, bolos, ngelawan guru segala macem. Padahal Rafa masih SMP tapi udah badung banget. Dulu pas SD nggak gitu. Heran gue, dia kayak gitu niru siapa, sih?"
Arsen melirik Dafi penuh keheranan. Meniru siapa? Jelas-jelas Dafi ayahnya, meniru siapa lagi? Arsen masih ingat ketika mereka SD, ia pernah ditampar ayahnya karena menemani Dafi memasukkan tokek ke tas guru yang mereka tidak suka.
"Ya udah jalani aja, jadi orang tua emang berat, Daf."
"Lo mah enak tinggal ngomong nggak ngerasain."
Dafi terdiam sejenak, lalu melirik Arsen setelah sadar jika ia salah memilih kata-kata.
"Sorry, Sen."
"Ngapain minta maaf segala? Kenyataannya gitu, kan? Gue nggak ngerasain jadi orang tua kayak lo," ucap Arsen sebelum menyendok buburnya.
"Jadi gimana? Lo bisa atau nggak?"
"Bisa apa? Lo aja nggak jadi bilang mau nyuruh gue ngapain."
"Itu, jemput si Karin."
Arsen mengangguk.
"Nanti gue jemput. Dibawa ke kantor atau gue anter ke rumah lo?"
"Hehe, anterin ke rumah gue sekalian, ya? Paling sampai sana istri gue udah pulang."

KAMU SEDANG MEMBACA
Fam-ily
General FictionAlasan Arsen menikahi Anyelir adalah kehadiran bayi mungil yang masih merah itu. Jika tidak ada dia, mungkin Arsen telah melupakan Anye dan mencari perempuan lain. Namun Arsen lupa bahwa kehadirannya bukan hanya dibutuhkan di mata hukum. Arsen lupa...