Arsen terbangun karena mendengar suara berisik. Matanya terbuka pelan. Tampak Anye yang sedang berusaha menggapai sesuatu di nakas. Sebuah gelas berisi air minum tumpah ke nampan. Untungnya makanan yang disediakan rumah sakit ditutupi plastic wrap, jadi makanannya tidak terkena tumpahan air.
Arsen bergegas bangkit dari sofa. Dia mendekat ke nakas untuk merapikan kekacauan yang baru saja dibuat Anye. Gelas ia berdirikan kembali, kemudian dia mengambil beberapa lembar tisu dan membersihkan air di atas nampan.
"Kamu bisa bangunin aku kalau susah gerak."
Dengan gerakan cekatan, Arsen membuka meja untuk makan yang jadi satu set dengan ranjang pasien. Dia kemudian membuka plastik pada makanan Anye satu-persatu. Setelah menatanya ke meja, Arsen membantu Anye agar bisa duduk lebih nyaman.
"Jam segini udah diantar makan malamnya?" tanya Arsen. Setahu Arsen, makan malam diantar sore-sore, tapi ini masih siang menjelang sore. Baru dua atau tiga jam yang lalu Anye makan siang.
"Harusnya nanti, tapi aku tanya perawatnya boleh makan atau nggak, terus diambilin sama perawatnya."
Tangan Arsen yang memegang sendok berhenti di udara. Anye menutuo bibir rapat dan menggeleng pelan. Anye mangambil alih sendok dari Arsen.
"Aku bisa sendiri," ujar Anye.
Arsen menghela nafas. Ia lalu menyeret kursi agar lebih dekat ke Anye dan duduk di atasnya.
Anye yang tengah makan menghentikan suapannya. Sejenak matanya bertatapan dengan Arsen sebelum pria itu mengambil ponsel dari saku. Anye tebak ponsel pria itu penuh dengan urusan pekerjaan seperti biasanya.
"Arsen," panggil Anye.
"Kenapa?"
Arsen mengalihkan perhatian dari ponsel ke Anye.
"Kamu belum makan dari tadi."
Arsen terdiam. Dia baru sadar jika belum makan dari pagi. Semua terjadi begitu cepat dan mendadak. Tadinya Arsen tidak merasa lapar. Tapi mendengar Anye mengatakan itu, perutnya jadi keroncongan.
"Kata nersnya fasilitas suite room bisa pesan makan juga. Mau aku panggilin ners biar nyediain kamu makan?"
Arsen menggeleng.
"Nggak usah, aku cari di luar aja."
Arsen bangkit. Setelah memastikan jika Anye akan baik-baik saja jika ditinggal, Arsen meninggalkan ruangan.
Kaki Arsen melangkah melewati lorong rumah sakit. Bau hand sanitizer dan obat menguar di seluruh area rumah sakit. Arsen sebenarnya tidak terlalu suka berada di rumah sakit. Saat keluarganya sakit, pun, ia lebih baik mengundang dokter keluarga ke rumah.
Arsen perlu bertanya pada seorang pegawai rumah sakit untuk mengetahui letak kantin. Ini pertama kalinya Arsen datang ke rumah sakit ini. Meski cukup besar, rumah sakit ini jauh dari kediamannya.
Arsen memperlambat langkah melihat sebuah ruangan dengan kaca besar di bagian sisi lorong. Arsen berdiri di depan ruang tempat bayi-bayi diletakkan itu. Beberapa ners tampak berlalu-lalang di dalam ruangan. Mata Arsen menatap bayi-bayi di situ satu-persatu.
Arsen tidak tahu yang mana anaknya. Semua wajah bayi di sini terlihat mirip bagi Arsen. Ia lalu berinisiatif melihat gelang rumah sakit yang ada di tiap bayi. Sengaja dia hanya melihat yang berwarna merah muda karena anaknya perempuan.
Beberapa menit kemudian, Arsen berdecak dan merutuki dirinya sendiri. Di bagian atas boks, tepatnya di dekat kepala bayi, ada papan kecil berisi identitas bayi. Akan jauh lebih mudah mencari dari sana daripada melihat melalui gelang dengan tulisan kecil.

KAMU SEDANG MEMBACA
Fam-ily
Художественная прозаAlasan Arsen menikahi Anyelir adalah kehadiran bayi mungil yang masih merah itu. Jika tidak ada dia, mungkin Arsen telah melupakan Anye dan mencari perempuan lain. Namun Arsen lupa bahwa kehadirannya bukan hanya dibutuhkan di mata hukum. Arsen lupa...